KUCHING, KOMPAS.com – Menanam kelapa sawit di lahan gambut bukan hal yang haram. Pengalaman Negara Bagian Sarawak di Malaysia membuktikan, perkebunan kelapa sawit di lahan gambut bisa dikelola secara berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi yang sangat besar.
Hal ini ditegaskan oleh Abdul Hamed Sepawi, Ketua Sarawak Oil Palm Plantation Owners Association, saat menjadi pembicara dalam 15th International Peat Congress di Kuching Serawak Malaysia.
Dalam presentasi yang berjudul “Menanam Kelapa Sawit di Lahan Gambut: Pengalaman, Tantangan, dan Peluang” Abdul Hamed Sepawi menegaskan tidak ada alasan bagi negara lain untuk takut menanam kelapa sawit di lahan gambut.
“Kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling murah jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya,” kata Sepawi di depan sekitar 1.000 peserta kongres gambut terbesar di dunia itu.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit, kata Sepawi, juga berperan besar dalam menyerap gas karbondioksida ke dalam bentuk karbon yang padat yang bisa dimanfaatkan sebagai biomassa. Dan ini akan mendukung keberlanjutan dari minyak nabati yang dihasilkan.
“Kami telah menjadi pelopor pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut,” kata Sepawi. Saat ini, sebanyak 40 persen perekonomian Malaysia ditopang oleh sawit. Pemerintah Malaysia juga sangat mendukung pemanfaatan lahan gambut untuk ditanami kelapa sawit.
Tantangan
Sepawi menjelaskan sejumlah isu dan tantangan yang dihadapi ketika kali pertama mengembangkan kelapa sawit di lahan gambut. Salah satu tantangan itu adalah bahwa kebun kelapa sawit tersebut harus memenuhi standard yang ditetapkan oleh MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) dan kriteria keberlanjutan lainnya.
“Tentu saja diperlukan teknik dan inovasi yang ilmiah untuk mengubah kondisi lahan gambut yang tidak kondusif menjadi sebuah areal untuk pengembangan budidaya, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit.”
Meski pada tahap awal sulit, namun dengan inovasi yang dilakukan, produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut Serawak bisa meningkat dari 12 ton tandan buah segar (TBS) per hektar per tahun menjadi 30 ton per hektar per tahun.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.