Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu

Kompas.com - 08/09/2016, 07:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, ada sebuah patung yang dikenal sebagai Monumen Pembebasan Irian Barat.

Sesuai namanya,  monumen ini dibuat untuk mengingatkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan wilayah Irian Barat pada tahun 1962.

Patung ini menggambarkan orang yang berhasil memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya, sebagai simbol lepasnya Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda.

Namun, patung yang terbuat dari perunggu itu ternyata juga bisa menyimbolkan hal lain.

Dengan kedua tangan terangkat tinggi-tinggi ke atas, patung itu seolah menjerit, ”Uang sudah habis...!”

Menurut anekdot, patung itu menyuarakan jeritan hati Menteri Keuangan yang berkantor persis di belakang patung itu.

Kepada siapa suara itu diarahkan? Banyak versi. Namun, melihat kondisi anggaran pemerintah sekarang, suara itu seolah ditujukan ke Istana Merdeka yang kebetulan berada di hadapan patung itu sejauh 1,5 km.

Menteri Keuangan, sebagai pencari uang sekaligus pengelola dana pembangunan  seolah ingin mengatakan kepada Presiden agar mengerem belanja negara karena kantong pemerintah sedang cekak alias tak ada uang.

Tidak lagi sama

Saat ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (menkeu) untuk kedua kalinya pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani tentu telah menyadari bahwa kondisi anggaran negara saat ini tak lagi sama dengan saat dirinya menjabat menkeu periode 2005 – 2010 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu perbedaan yang menonjol adalah pemerintah saat ini senantiasa berkantong cekak. Dengan kata lain, kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.

Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur.

Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.

Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.

Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp 865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp 634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp 230,7 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, selama semester I 2016, pemerintah menambah utang baru sebanyak Rp 197,61 triliun. Sisa defisit ditutup dari utang yang diambil pada tahun sebelumnya.

Jadi, jika tak ada uang dari utang, kas pemerintah saat ini benar-benar kosong.

Situasi ini berbeda sekali dengan periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Pada semester I tahun 2006 misalnya, realisasi penerimaan negara mencapai Rp 229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp 215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp 13,84 triliun di laci meja menkeu yang bukan uang utang.

Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp 260,65 triliun dan belanja Rp 237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp 23,63 triliun.

Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.

Tahun 2009 merupakan tahun penuh terakhir Sri Mulyani menjabat menkeu periode pertama. Tahun 2010 tidak dilaluinya secara penuh karena huru hara politik kasus Bank Century mendorongnya hijrah ke Amerika Serikat untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank).

WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN Sri Mulyani saat diperkenalkan Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Keuangan di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (27/7/2016).
Mengapa pemerintahan Presiden Jokowi selalu kehabisan uang?

Presiden Jokowi terlalu ambisius membangun infrastruktur, padahal uangnya tak cukup. Dampaknya, pemerintah harus berutang lebih banyak dan memangkas pos-pos anggaran lain agar tersedia dana yang cukup untuk membangun infrastruktur.

Dalam dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.

Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata hanya Rp 150 triliun per tahun.

Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, terlalu ambisius membangun infrastruktur dengan mengorbankan kepentingan masyarakat jangka pendek juga tidak elok.

Halaman:


Terkini Lainnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com