Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelum Menaikkan Harga Rokok, Pemerintah Diminta Perbaiki Struktur Cukai

Kompas.com - 20/09/2016, 08:57 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ide menaikkan harga rokok yang terlalu ekstrem berpotensi mendulang dampak buruk baru.

Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan harga rokok yang sangat drastis akan berdampak pada tumbangnya industri, dan berujung PHK massal pada sektor industri rokok nasional yang dari hulu ke hilir mempekerjakan tak kurang 6,1 juta tenaga kerja.

Kenaikan harga secara ekstrem juga malah berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal dan mematikan industri kretek nasional yang menyumbang Rp 139,5 triliun pada penerimaan negara di tahun 2015.

Bahkan jika dikaitkan dengan pengendalian konsumsi rokok, ide kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus sebetulnya adalah sebuah gagasan yang abai pada realitas dan tidak memijak kondisi objektif yang perlu ditilik secara jernih.

"Alih-alih mengurangi konsumsi secara signifikan, kenaikan tarif cukai akan berdampak pada perpindahan konsumsi dari rokok yang berharga mahal ke yang berharga murah, bukan pengurangan konsumsi," ujar Yustinus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/9/2016).

Solusi yang komprehensif menurut Yustinus yakni, sebelum melempar ide menaikkan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus, ada permasalahan lain yang lebih penting yaitu struktur tarif cukai yang sangat beragam dengan lapisan tarif yang berbeda.

Struktur tarif seperti ini tidak akan efektif untuk mengatasi tingkat prevalensi perokok di Indonesia. Karenanya, dibutuhkan sebuah struktur tarif cukai yang sederhana agar kenaikan tarif akan lebih berdampak pada pengurangan prevalensi perokok.

"Dengan struktur tarif yang lebih sederhana, kenaikan harga cukai dapat naik bersamaan sehingga mengurangi dampak subtitusi, yakni beralihnya perokok dari rokok dengan harga mahal ke harga yang lebih murah," terang Yustinus.

Tak sekedar berdampak lebih besar terhadap prevalensi perokok, struktur tarif cukai yang sederhana niscaya akan lebih mengoptimalkan pendapatan negara.

Banyaknya lapisan tarif cukai akan mendorong pabrik rokok untuk melakukan pelanggaran dan pelarian pajak dengan cara memanfaatkan tarif terendah agar harga rokok mereka lebih terjangkau konsumen.

Maraknya pelanggaran dan pelarian pajak akan semakin besar pula menghilangkan potensi penerimaan negara.

Sebaliknya, sistem yang lebih sederhana pada akhirnya memudahkan pemerintah mengevaluasi dampak kenaikan tarif cukai terhadap pengendalian konsumsi rokok.

Akhirnya, pengendalian konsumsi rokok tidak harus melalui cara bombastis dan menyederhanakan persoalan. Ada cara yang lebih realistis yaitu penyederhanaan strutur tarif cukai.

Secara politik, hal yang bombastis justru akan mudah mendapat penolakan dari masyarakat maupun pemerintah sehingga tujuan malah tidak tercapai.

Bertolak belakang dengan hal tersebut, penyederhanaan struktur tarif cukai yang realistis akan mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah juga seharusnya mendukung penuh ide penyederhanaan struktur tarif cukai karena mampu mengoptimalisasi pendapatan dan efektif sebagai instrumen pengendalian.

"Belum luput dari ingatan, Pemerintah telah membuat peta jalan penyederhanaan tarif cukai namun belum dilaksanakan dengan konsisten. Kita menunggu Pemerintah mengambil keputusan yang bijak dan memberi solusi komprehensif, mencakup kesehatan, tenaga kerja, dan penerimaan negara sekaligus," tandas Yustinus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Minta Manfaat Ekonomi Syariah Bisa Dirasakan Masyarakat

Wapres Minta Manfaat Ekonomi Syariah Bisa Dirasakan Masyarakat

Whats New
PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3, S1, dan S2

PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3, S1, dan S2

Work Smart
Tur Wisata Lebaran Makin Ramai, Ini Strategi Dwidaya Tour Tetap Dorong Transaksi Tahun Ini

Tur Wisata Lebaran Makin Ramai, Ini Strategi Dwidaya Tour Tetap Dorong Transaksi Tahun Ini

Whats New
Rupiah Tertekan, 'Ruang' Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Jadi Terbuka

Rupiah Tertekan, "Ruang" Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Jadi Terbuka

Whats New
Hana Bank Catat Laba Bersih Rp 453 Miliar, Total Aset Naik

Hana Bank Catat Laba Bersih Rp 453 Miliar, Total Aset Naik

Whats New
Tingkatkan Produksi Beras di Jateng, Kementan Beri Bantuan 10.000 Unit Pompa Air

Tingkatkan Produksi Beras di Jateng, Kementan Beri Bantuan 10.000 Unit Pompa Air

Whats New
Genjot Energi Bersih, Bukit Asam Target Jadi Perusahaan Kelas Dunia yang Peduli Lingkungan

Genjot Energi Bersih, Bukit Asam Target Jadi Perusahaan Kelas Dunia yang Peduli Lingkungan

Whats New
HM Sampoerna Bakal Tebar Dividen Rp 8 Triliun

HM Sampoerna Bakal Tebar Dividen Rp 8 Triliun

Whats New
PLN Nusantara Power Sebut 13 Pembangkit Listrik Masuk Perdagangan Karbon Tahun Ini

PLN Nusantara Power Sebut 13 Pembangkit Listrik Masuk Perdagangan Karbon Tahun Ini

Whats New
Anak Muda Dominasi Angka Pengangguran di India

Anak Muda Dominasi Angka Pengangguran di India

Whats New
Daftar 6 Kementerian yang Telah Umumkan Lowongan PPPK 2024

Daftar 6 Kementerian yang Telah Umumkan Lowongan PPPK 2024

Whats New
Pembiayaan Kendaraan Listrik BSI Melejit di Awal 2024

Pembiayaan Kendaraan Listrik BSI Melejit di Awal 2024

Whats New
Peringati Hari Bumi, Karyawan Blibli Tiket Donasi Limbah Fesyen

Peringati Hari Bumi, Karyawan Blibli Tiket Donasi Limbah Fesyen

Whats New
Great Eastern Hadirkan Asuransi Kendaraan Listrik, Tanggung Kerusakan sampai Kecelakaan Diri

Great Eastern Hadirkan Asuransi Kendaraan Listrik, Tanggung Kerusakan sampai Kecelakaan Diri

Earn Smart
Setelah Akuisisi, Mandala Finance Masih Fokus ke Bisnis Kendaraan Roda Dua

Setelah Akuisisi, Mandala Finance Masih Fokus ke Bisnis Kendaraan Roda Dua

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com