JAKARTA, KOMPAS.com – Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri meminta pemerintah untuk tidak membebani importir dengan kewajiban menyerap garam rakyat.
Kebijakan impor garam harus diperlakukan sama sebagaimana komoditas lain seperti beras dan bawang putih.
Faisal mengatakan, saat ini memang ada permasalahan harga garam rakyat, yang dihargai sangat rendah antara Rp 200 – Rp 300 per kilogram (kg).
Harga garam rakyat tersebut jauh di bawah harga acuan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan sebesar Rp 750 per kg untuk K1 dan Rp 550 untuk K2.
Akan tetapi, Faisal menambahkan, rendahnya harga garam rakyat tersebut bukan lantaran kelebihan produksi.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat kebutuhan garam nasional pada 2014 mencapai 3,9 juta ton, sedangkan produksinya hanya 2,2 juta ton.
“Jadi ada kekurangan sekitar 1,7 juta ton. Kan aneh, kalau negara yang kekurangan produksi dalam negeri, ada kebijakan menyerap garam. Apa yang mau diserap kalau kurang?” kata Faisal mengawali diskusi, di Jakarta, Senin (26/9/2016).
Faisal mengatakan, tidak tepat apabila importir dikenai kewajiban menyerap garam rakyat.
Importir harus merogoh kocek lagi untuk mengumpulkan garam dari sentra-sentra produksi dalam negeri, dan pada akhirnya terakumulasi pada harga jual garamnya.
Industri pengguna garam pada akhirnya membeli garam dengan harga lebih tinggi, sehingga daya saing industrinya berkurang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.