KOMPAS.com – Generasi mulai kelahiran 60-an dan 70-an, antara lain tumbuh bersama tembang “Kolam Susu” milik Koes Plus.
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman," dendang Koes Plus lewat lagu yang mereka lansir pada 1973.
Ibarat kata, lagu itu menyatakan hidup di Indonesia tak perlu khawatir soal kebutuhan hidup.
Lalu, generasi sampai 80-an, menikmati betul kemajuan pembangunan dari hasil produksi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. Apakah ini terus berlanjut?
Sudah tanahnya berasa di surga, kekayaan alam di bawah lapisan debu pun tak kalah melimpah. Setidaknya hingga kurun waktu itu.
Indonesia, misalnya, merupakan salah satu penikmat berkah masa kejayaan minyak (oil boom) hingga akhir 1982. Pada tahun itu, harga minyak dunia anjlok drastis, seperti yang kemudian terulang lagi mulai 2014 hingga sekarang.
Kenyamanan era kejayaan minyak masih terus terasa bahkan sampai menjelang pergantian abad 20 ke abad 21. Masih kecipratan seliter bensin berbanderol Rp 700?
Sampai saat itu, pendapatan dari sektor migas juga merupakan tulang punggung sekaligus urat nadi perekonomian nasional. Rujukannya, tentu saja postur anggaran negara.
Berbalik ancaman krisis
Namun, musim berganti, situasi berubah. Belakangan, sejumlah kalangan makin gencar mengingatkan bahwa migas seharusnya bukan lagi topangan utama bagi perekonomian bangsa.
Tak perlu juga menunggu Indonesia menjadi seperti Nigeria, bukan? Pada 1987, Bank Dunia sempat menerbitkan paper khusus membandingkan kondisi Nigeria dan Indonesia, untuk memotret situasi sebelum dan sesudah era kejayaan minyak.
Tulisan Brian Pinto tersebut menggambarkan kejatuhan ekonomi Nigeria yang sebelumnya “terlena” dengan pendapatan dari minyak. Ketika laporan ini terbit, Indonesia memang masih terasa baik-baik saja.
Siapa nyana, pada era 1990-an muncul frasa baru di kalangan ekonom untuk situasi serupa, yaitu “resource course” alias “kutukan sumber daya alam”. Kali ini, Indonesia masuk menjadi salah satu negara yang dianggap rawan menjadi salah satu penerima kutukan itu.
Di negara-negara yang dianggap masuk kategori itu, manufakturnya dinilai cenderung tak berkembang, termasuk upaya memberi nilai tambah atas sumber daya alam yang dimiliki.
Masalahnya, industri berbasis sumber daya alam tetaplah aktivitas ekstraktif, yang sumber cadangannya tak bertambah. Di tahap ini, Indonesia sudah menjadi bahan kajian di beberapa lembaga akademis.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.