Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi
KOMPAS.com - Taksi online kini naik kelas. Pasca-keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 32/2016, kini taksi online menjadi taksi resmi. Ini tentu kabar baik bagi perusahaan taksi online, para pemilik/pengemudi taksi maupun masyarakat.
Sebagian dari Anda tentu masih ingat dengan cerita tentang Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI dan berbagai kota besar lainnya, bekerja sama dengan kepolisian, saat melakukan razia taksi online. Penumpangnya dipaksa turun dan mobil yang dijadikan taksi kemudian dikandangkan di kantor polisi.
Itu baru razia dari aparat. Belum lagi razia2 dari incumbent yang bisnisnya terancam turun.
Kini, semua sudah berlalu. Kalau semua pihak yang terlibat dalam bisnis taksi online mau duduk bareng, saya yakin, pasti ada solusinya. Kalau kita mau bermusyawarah, pasti bakal ada mufakat. Itulah salah satu kelebihan kita sebagai bangsa Indonesia.
Hanya, menurut saya, masalahnya belum tuntas sampai di situ. Masih ada yang mengganjal dalam Permenhub No. 32/2016, yakni penerapan sistem kuota. Apa itu?
Simpelnya, itu model penjatahan. Jadi, pemerintah daerah diberi hak untuk mengatur berapa banyak jumlah mobil yang boleh bergabung di perusahaan taksi online di daerah masing-masing. Jumlahnya dibatasi. Jadi kalau ada perusahaan taksi online ingin menambah jumlah armadanya, mereka harus minta izin terlebih dahulu. Itu pun belum tentu dapat.
Dengan cara seperti ini diharapkan tidak terjadi kelebihan pasok taksi online dan tarif juga tak lagi jor-joran. Juga, kualitas layanan diharapkan bisa meningkat.
Di satu pihak ini ada benarnya karena jumlah yang berlebihan, ibarat populasi suatu habitat, bisa berubah menjadi, maaf, seperti "hama" yang mematikan. Lihat saja jumlah angkot yang kini melebihi kebutuhan, telah mengakibatkan kemacetan, masalah sosial bahkan kriminal.
Korupsi Kuota
Hanya saja kita patut mencemaskan penerapan sistem kuota semacam ini. Saya ada dua catatan terkait hal ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.