Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suhu Politik Panas, Wajib Pajak Menyesal Repatriasi Harta

Kompas.com - 12/05/2017, 06:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebagian pengusaha memutuskan tidak jadi membawa pulang hartanya ke Indonesia atau repatriasi melalui program tax amnesty.

Wakil Ketua Industri Keuangan Non Bank Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sidhi Widyapratama mengatakan, bahkan banyak di antara pengusaha yang sudah membawa hartanya ke Tanah Air menyesal telah melakukan repatriasi. Hal ini disebabkan kondisi sosiopolitik di Indonesia yang tengah berdinamika.

“Tentu sosiopolitik harus dijaga karena sangat mempengaruhi. Pengusaha banyak wait and see. Banyak yang menyesal telah repatriasi,” katanya pada sebuah seminar di Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5/2017).

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat, hingga batas waktu untuk merealisasikan repatriasi atau akhir Maret 2017, dana yang sudah masuk ke dalam negeri dalam rangka repatriasi senilai Rp 128,3 triliun.

Sementara itu, komitmen dana repatriasi pada program tax amnesty sebesar Rp 146,6 triliun. Dengan demikian masih ada Rp 18 triliun dana repatriasi dari wajib pajak (WP) yang telah menyampaikan, tetapi belum masuk laporan realisasi repatriasinya.

Para pengusaha kemudian berpikir ulang untuk repatriasi harta. Sebagian dari mereka memilih mengkonversi menjadi deklarasi. “Maka dari itu, ada komitmen yang cukup besar, tetapi realisasinya masih sedikit,” kata Sidhi.

Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, minimnya repatriasi berkaitan dengan gonjang-ganjing politik di Tanah Air. Menurutnya, pada periode September hingga Desember ada sejulah pengusaha yang mengubah rencananya untuk repatriasi harta.

“Repatriasi seharusnya bisa lebih besar. Informasi dari private banker di Singapura, satu bank di Singapura kelola sekitar Rp 2.000 triliun uang WNI,” kata Yustinus.

Lanjut Yustinus, suhu panas politik juga bisa menekan investment rating Indonesia. Terlebih, apa yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah mendapatkan perhatian kalangan internasional. Khususnya soal pasal-pasal yang sifatnya uncertain.

“Di Indonesia, orang yang punya jabatan dan power saja bisa kena ketidakpastian (dalam pasal-pasal tertentu), Bagaimana investor? Pesan ini akan mempengaruhi bisnis, repatriasi dan lain-lain akan terganggu, jelas terganggu,” ucapnya.

Ia melanjutkan, masih belum semua komitmen repatriasi dibawa pulang. Bila kondisi di dalam negeri dianggap tidak kondusif, komitmen tersebut bisa saja dibatalkan meski dengan ongkos yang lebih mahal karena kena penalti.

“Begitu dana repatriasi masuk sistem perbankan, beberapa layer sudah tidak bisa diawasi. Itu malah akan jadi pendorong melakukannya (pembatalan). Penyelesaiannya ya politik. Dan ini buruk,” katanya.

Kegagalan pemerintah menjaga kondisi politik menurut Yustinus akan berdampak pada kepercayaan. “Pajak akan terganggu apabila politik gaduh. Reformasinya mungkin akan lebih lama stepnya. Bahkan insentif yang dulunya menarik, ketika ditawarkan sekarang tidak menarik lagi,” pungkasnya. (Ghina Ghaliya Quddus)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber KONTAN
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Kecelakaan Beruntun di GT Halim Diduga gara-gara Truk ODOL, Kemenhub Tunggu Investigasi KNKT

Whats New
Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Indef: Banjir Barang Impor Harga Murah Bukan Karena TikTok Shop, tapi...

Whats New
Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Emiten Menara TBIG Catat Pendapatan Rp 6,6 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com