Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

50 Tahun Freeport di Indonesia

Kompas.com - 30/05/2017, 21:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

TAHUN ini, tepatnya pada tanggal 7 April 2017, genap 50 Tahun PT Freeport Indonesia (PTFI) berada di Tembagapura, Papua, Indonesia.

Rentang kurun waktu yang cukup panjang dengan sendirinya memberikan kesan telah hadirnya sebuah model usaha berbentuk penanaman modal asing (PMA) yang terjaga kredibilitasnya dalam bekerjasama dengan pemerintah Indonesia dan pasti berbasis pada pola saling menguntungkan.

Rujukannya antara lain adalah porsi pembagian pendapatan yang 60 persen untuk pemerintah Indonesia dan 40 persen untuk PTFI.

PTFI adalah Indonesia dengan gambaran yang sangat jelas, karena PTFI berlokasi di Papua sebuah provinsi yang merupakan bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pekerja PTFI terdiri dari 99 persen orang Indonesia dan hampir 40 persen dari seluruh pekerja itu berasal dari penduduk asli Papua. Hanya 1 persen expatriat yang berkiprah di PTFI.

Dalam hal ini kapital besar dan teknologi tinggi serta manajemen sistem operasional memang berasal dari Luar Negeri. Diluar dari itu semua adalah Indonesia. PTFI adalah Indonesia yang ditandai dengan ketetapan pemerintah tentang PTFI yang berstatus sebagai "Obyek Vital Nasional".

Dalam perjalanannya, gambaran serta kesan yang kurang baik dari keberadaan PTFI berkembang luas menjadi opini publik yang buruk. Kondisi ini bahkan telah menyebabkan media asing sempat menyebut PTFI sebagai "number 1 public enemy".

Salah satu yang menyebabkannya adalah kekeliruan merespons keberadaan PTFI di Indonesia dengan data yang tidak benar dan dihubungkan dengan "patriotisme", "nasionalisme", dan "kedaulatan negara".

Pada kenyataannya keberadaan PTFI adalah berlandas kepada kontrak karya dengan pemerintah Indonesia. Hal itu berarti bahwa seluruh aktivitas PTFI di Indonesia berada dalam pengawasan yang baku dari institusi pemerintah yang terkait.

Di sana antara lain ada Kementrian ESDM, Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Gambaran ini dengan mudah menunjukkan bahwa sangat kecil kemungkinan PTFI melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum (sendiri) atau menyimpang dari ketentuan dan regulasi yang berlaku di Indonesia, termasuk seluruh ketentuan yang tertuang dalam Kontrak Karyanya.

Manajemen PTFI berada dalam pengawasan dan pantauan standar dari Pemerintah Republik Indonesia. Dalam hal ini, bila terdengar ada sesuatu yang dipandang sebagai menyimpang, akan sangat mudah untuk dilakukan klarifikasi dan atau audit untuk mengkonfirmasinya.

Kini PTFI di tahun ke-50 eksistensinya berada di tikungan jalan pada jalur Kontrak Karya sebagai salah satu perusahaan PMA yang ada di Indonesia. Peraturan Pemerintah di bulan Januari 2017 telah membuat Freeport pada posisi yang sulit untuk dapat melanjutkan kegiatannya.

Sekarang negosiasi dengan pemerintah tengah intensif berjalan untuk memperoleh solusi yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pada tikungan jalan ini, tidak dapat dihindari masalah patriotisme, nasionalisme, dan kedaulatan negara akan selalu mengiringinya.

Sebenarnya isu tentang patriotisme, nasionalisme, dan kedaulatan negara itu sudah tersimpan rapih di dalam amanah konstitusi. Dalam UUD 1945 Pasal 33 sudah sangat jelas bahwa semua kekayaan bumi, air, dan seluruh kandungannya harus dikelola untuk semaksimal kesejahteraan rakyat.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com