Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dampak Perang Gaza terhadap Ketahanan Pangan dan Energi Nasional

Meletusnya perang di jalur Gaza antara kelompok Hamas dan Israel menjadi bukti nyata bahwa gelombang tersebut semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Dinamika ekonomi politik global yang belum terurai akibat perang Rusia dan Ukraina akan semakin runyam seiring membesarnya perang di jalur Gaza.

Riakan dan efek domino dari kedua perang tersebut akan terus menggelinding membentuk efek bola salju yang semakin hari semakin membesar.

Jika pemerintah tidak sigap dalam merespons dinamika ekonomi politik global, maka besar kemungkinan Indonesia akan masuk kembali ke jurang krisis ekonomi yang bisa saja semakin dalam dan gelap.

Kekhawatiran ini bukanlah ketakutan tanpa dasar. Pengalaman pemerintah yang berhasil mengendalikan efek negatif pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, lebih disebabkan faktor keberuntungan alih-alih perencanaan yang efektif dan efisien.

Di tengah defisit yang membesar akibat hilangnya beberapa sumber pendapatan utama negara, pemerintah mendapatkan berkah luar biasa besar dari melejitnya harga beberapa komoditas pangan dan energi terutama komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan Batubara.

Awal masa pandemi, harga CPO melejit dari sekitar 600 dollar AS per ton menjadi lebih dari 1.200 dollar AS per ton pada akhir 2021.

Bahkan pada awal 2022, kenaikan harga CPO terus terjadi sampai ke sekitaran angka 1.700 dollar AS per ton.

Kenaikan harga CPO tentu menjadi berkah yang luar biasa besar mengingat Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia.

Menurut data Statista, sepanjang periode 2020-2021, Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah terbesar secara global dengan berkontribusi sekitar 58 persen dari total produksi CPO dunia.

Sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia, kenaikan luar biasa besar ini seolah-olah menjadi “durian runtuh” yang dapat menutupi berbagai kekurangan di sisi belanja pemerintah untuk pengendalian Covid-19.

Hal yang sama juga terjadi pada komoditas batubara. Harga batubara mengalami lonjakan luar biasa besar sebagaimana yang terjadi di komoditas CPO.

Pada awal 2021, harga batubara masih berada di bawah 100 dollar AS per metrik ton. Pada akhir 2021, harga batubara sudah lebih dari 200 dollar AS per metrik ton. Bahkan pada akhir tahun 2022, harga batubara sudah lebih dari 420 dollar AS per metrik ton.

Sama halnya dengan kenaikan harga CPO, kenaikan harga komoditas batubara juga menjadi berkah luar biasa besar mengingat Indonesia memiliki cadangan batubara yang masih sangat banyak.

Indonesia tercatat memiliki cadangan batubara sebesar 34,87 miliar ton hingga akhir 2020. Bahkan Indonesia menjadi produsen batubara terbesar ketiga dunia setelah China dan India.

Berkah kenaikan harga kedua komoditas tersebut menambah pundi-pundi pendapatan pemerintah, baik yang berasal dari pajak ekspor komoditas maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terutama yang berasal dari PNBP sumber daya alam (SDA).

Pada 2021 dan 2022, PNBP secara berturut-turut mampu tumbuh 33,4 persen dan 29,9 persen di mana kontribusi PNBP SDA pada 2022 mencapai 45,1 persen.

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 dan efek turunannya beberapa waktu lalu, bukan hanya disebabkan oleh kelihaian pemerintah dalam membuat kebijakan, namun ada faktor lain yang berada di luar kendali pemerintah dan sejatinya tidak bisa diklaim sebagai prestasi pemerintah.

Pascapecahnya perang Gaza beberapa hari lalu, ujian berat akan kembali dihadapi pemerintah. Pemerintah tentunya tidak boleh kembali mengandalkan faktor “keberuntangan” dalam menghadapi efek negatif perang Gaza karena bisa saja faktor keberuntungan tersebut tidak akan terulang untuk kedua kalinya.

Risiko perang Gaza

Tidak bisa dipungkiri, perang Gaza akan semakin memperbesar eskalasi dinamika ekonomi politik global.

Risiko ekonomi akibat perang Gaza akan semakin memperbesar risiko ekonomi yang sebelumnya disebabkan perang Rusia dan Ukraina. Setidaknya terdapat dua ancaman besar yang harus dihadapi Indonesia pascameletusnya perang Gaza.

Risiko pertama yang akan muncul pascameletusnya perang Gaza adalah stabilitas harga pangan. Berkaca pada perang Rusia – Ukraina, harga pangan terkerek naik sebagai imbas dari merosotnya pasokan pangan dari kedua negara tersebut.

Fenomena ini bisa kembali terjadi setelah dimulainya perang Gaza. Perang Gaza bisa menimbulkan efek ketakutan (scarring effect) yang besar terutama di sekitaran wilayah teluk Arab.

Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa negara teluk akan kembali terseret pada perang yang tidak berkesudahan tersebut.

Efek ketakutan yang timbul dari perang Gaza tersebut bisa memicu kenaikan harga pangan global dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side).

Efek ketakutan perang Gaza bisa meningkatkan permintaan beberapa komoditas global seiring dengan ketakutan terhambatnya pasokan pangan global.

Dalam waktu bersamaan, supply komoditas-komoditas pangan akan turun sebagai respons dari kehatian-hatian untuk mendahulukan kepentingan negara masing-masing terutama negara-negara pemasok komoditas pangan.

Potensi kenaikan harga pastinya akan menjalar ke Indonesia sebagai negara pengimpor untuk beberapa komoditas pangan esensial.

Untuk Indonesia, risiko ketahanan pangan akan semakin besar seiring ketahanan pangan Indonesia yang masih relatif rentan.

Sebelum adanya perang Rusia dan Ukraina serta perang Gaza, Indonesia sudah memiliki masalah pangan yang bisa dikatakan cukup akut. Bahkan masalah pangan ini menjadi rutinitas tahunan yang selalu berulang.

Belum lama ini, masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga beras yang disebabkan turunnya pasokan beras sebagai dampak dari fenomena El Nino. Bahkan sampai saat ini harga beras belum kembali normal.

Selain beras, masyarakat juga selalu dihadapkan pada kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang biasanya terjadi dalam waktu berdekatan dengan kenaikan harga beras.

Pada 2022, setidaknya tiga kali harga pangan di pasaran mengalami kenaikan, yaitu bulan Februari, April, dan Juni.

Komoditas yang mengalami kenaikan harga tersebut relatif sama di antaranya adalah cabai rawit merah, bawang merah, bawang putih, telur ayam, daging ayam, minyak goreng, kedelai, dan jagung.

Padahal komoditas-komoditas tersebut masuk ke dalam kelompok bahan pokok masyarakat yang menjadi kebutuhan dasar msayarakat.

Program Lumbung Pangan (Food Estate) yang sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu, belum memberikan dampak signifikan terhadap pasokan pangan masyarakat.

Setelah pencanangan pembangunan Lumbung Pangan, pasokan pangan di pasaran relatif tidak berubah sehingga belum berdampak pada stabilitas pangan, baik stabilitas harga maupun stabilitas ketersediaan.

Program Lumbung Pangan terkesan jalan di tempat dan bahkan sebagiannya memperlihatkan gejala kegagalan karena tidak sesuainya harapan dengan hasil yang diperoleh.

Hal ini terjadi karena rencana yang telah dicanangkan tidak sesuai dengan kondisi realita yang dihadapi di lapangan. Padahal program Lumbung Pangan membutuhkan anggaran ratusan triliun rupiah.

Bahkan untuk 2024, anggaran yang dibutuhkan untuk melanjutkan pembangunan Lumbung Pangan tersebut mencapai lebih dari Rp 108 triliun. Anggaran sangat besar di tengah APBN yang sedang mengalami keterbatasan pendapatan.

Risiko kedua yang ditimbulkan dari perang Gaza adalah naiknya harga minyak mentah dunia. Pada periode Covid-19 dan perang Rusia – Ukraina, harga minyak mentah dunia sempat melambung tinggi jauh di luar asumsi yang ditetapkan APBN.

Pada akhirnya, APBN harus mengalami perombakan karena kebutuhan subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) membengkak sangat besar.

Asumsi Indonesia Crude Price (ICP) untuk 2024 ditetapkan di kisaran angka 75 dollar AS – 80 dollar AS per barel.

Saat ini harga minyak mentah dunia untuk WTI sudah mencapai lebih dari 86 dollar AS per barel, sedangkan untuk jenis brent sudah lebih dari 88 dollar AS per barel.

Dengan kata lain, harga minyak mentah dunia saat ini sudah melebihi nilai yang ditetapkan dalam asumsi APBN Tahun Anggaran 2024.

Tidak menutup kemungkinan harga minyak mentah dunia akan terus melambung tinggi seiring dengan perang yang tidak berkesudahan.

Jika harga minyak mentah dunia kembali melambung tinggi, maka porsi subsidi dan kompensasi akan kembali membengkak dan menambah beban belanja pemerintah.

Padahal di waktu bersamaan pesta dari kenaikan harga komoditas sudah menghilang dan mengurangi pendapatan negara secara signifikan.

Di tengah ruang fiskal yang semakin menyempit, mempertahankan harga jual BBM dalam negeri menjadi hal yang sulit dilakukan.

Pada akhirnya, pemerintah akan kembali menaikkan harga jual BBM untuk masyarakat luas termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah.

Jika hal ini terjadi, maka masyarakat harus bersiap-siap untuk kembali mengencangkan ikat pinggang supaya tetap bisa bertahan dalam gelombang ketidakpastian.

Masyarakat harus bersiap menelan pil pahit kenaikan harga pangan dan energi dalam waktu bersamaan.

https://money.kompas.com/read/2023/10/15/151247426/dampak-perang-gaza-terhadap-ketahanan-pangan-dan-energi-nasional

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke