Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sementara, Berhenti Bergantung pada Ekspor

Kompas.com - 16/02/2009, 10:13 WIB

Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sebab, dengan menyuruh semua penduduk berbelanja sepenuh hati pun, ekonomi hanya tumbuh 3,5 persen dan itu hanya cukup menciptakan 4,046 juta lapangan kerja baru, sangat tidak memadai dibandingkan dengan tingkat pengangguran yang bisa mencapai 8,6 persen dari angkatan kerja.

Akan tetapi coba tengok realitas di DPR. Dalam beberapa kali pemaparan pemerintah tentang aksi-aksi yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi krisis perekonomian global, program- program yang bisa langsung memperkuat konsumsi masyarakat justru ditentang. Program kucuran dana langsung seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) malah dicurigai sebagai upaya pemerintah yang berkuasa untuk berkampanye.

Murni masalah ekonomi

”Pada saat krisis, justru program seperti BLT dan PNPM yang perlu diperkuat. Namun, justru program ini yang banyak ditentang. Seseorang harus meyakinkan DPR bahwa saat ini ada masalah murni ekonomi, yakni memastikan ekonomi tumbuh, bukan masalah politik,” ujar Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) Raden Pardede.

Penguatan BLT dan PNPM dibutuhkan agar daya beli masyarakat miskin tertolong. Jika daya beli menguat, konsumsi rumah tangga bisa dipastikan mencapai titik tertinggi yang diperkirakan pemerintah, yakni 4,8 persen.

Penguatan daya beli juga perlu dilakukan untuk memastikan program pemberdayaan masyarakat, seperti kucuran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disiapkan sekitar Rp 34 triliun bisa sukses. Sebab KUR hanya bisa sukses jika bisnis-bisnis skala mikro dan kecil ada pembelinya.

Contoh buruk terjadi di China, masyarakat miskin enggan memanfaatkan program sejenis KUR karena mereka tahu, apa pun bisnis yang mereka buat tidak akan ada pembelinya. Setidaknya itu yang dilaporkan majalah The Economist edisi 31 Januari 2009, dalam paparannya tentang ”Asia’s shock”.

Di posisi ini, paket stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun yang disiapkan pemerintah juga menuai protes kalangan DPR yang setuju pada keampuhan kucuran uang tunai ke masyarakat sebagai obat sementara memperkuat daya beli. Pasalnya, stimulus fiskal ini didominasi insentif berupa pemotongan pajak, bukan transfer dana langsung ke masyarakat.

Tidak sebanding

Salah satu insentif itu adalah penghematan pajak sebagai dampak penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan, PPh pribadi, dan perubahan standar minimum Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang bernilai Rp 43 triliun. Itu setara 60,3 persen dari total stimulus Rp 71,3 triliun. Ini tidak sebanding dengan aliran dana yang benar-benar disebarkan ke masyarakat senilai Rp 10,2 triliun, atau yang disebut pemerintah sebagai stimulus berupa tambahan proyek infrastruktur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com