Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simalakama Harga Eceran Tertinggi

Kompas.com - 12/11/2009, 07:39 WIB
Banu Astono

 

 

 

KOMPAS.com — Energi pemerintah sejak dua bulan terakhir ini terkuras habis untuk menyelesaikan masalah antara Polri, KPK, Antasari, dan Anggodo. Pemerintah seolah melupakan masalah pelik lain yang menyangkut hajat hidup masyarakat petani dan ketahanan pangan nasional, yakni distribusi dan harga eceran tertinggi pupuk yang baru.

Persoalan pelik itu sampai saat ini tidak pernah jelas kapan akan diputuskan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah telah memangkas subsidi pupuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, yakni dari Rp 17,5 triliun menjadi Rp 11,3 triliun. Konsekuensi yang timbul akibat pemangkasan itu adalah kenaikan biaya produksi.

Ada dua kemungkinan yang timbul. Pertama, volume pupuk subsidi untuk kebutuhan petani tanaman pangan terpangkas sekitar 50 persen jika pemerintah tetap memberlakukan harga lama. Kedua, volume pupuk subsidi tetap sama dengan tahun 2009, tetapi harga naik hingga 85 persen.

Tampaknya dari dua opsi itu pemerintah akan memilih opsi yang kedua. Sinyal kuat itu disuarakan Menteri Pertanian (Mentan) Suswono pada awal November saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

Mentan secara tegas menyatakan, pemerintah akan mengevaluasi kembali HET pupuk bagi petani seiring dengan dipangkasnya subsidi pupuk. Petani diminta tidak risau karena pemerintah mengompensasi dengan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras.

Namun, jika melihat acuan kenaikan tersebut, harga pupuk urea dari Rp 1.200 per kg bisa menjadi Rp 2.000-Rp 2.200 per kg, superphos dari Rp 1.550 per kg menjadi Rp 2.100 per kg, pupuk majemuk dari sekitar Rp 1.750 per kg menjadi Rp 4.500 per kg, dan pupuk organik dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 per kg.

Sementara itu, beberapa waktu lalu Direktur Utama PT Pupuk Petrokimia Gresik Arifin Tasrif berharap kebijakan kewajiban layanan publik (PSO) untuk pupuk bersubsidi tidak mengalami perubahan mendadak yang signifikan. Perubahan itu sangat berpengaruh dengan rencana pengembangan perusahaan dalam jangka panjang. 

Arifin menilai, saat ini kebijakan PSO pupuk tidak stabil. Apalagi, pada tahun 2010 pemerintah menurunkan nilai subsidi pupuk. Padahal, total jumlah pupuk bersubsidi naik dari sekitar 9 juta ton tahun ini menjadi 11,06 juta ton tahun depan.

Kondisi itu akan memaksa pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi karena kalau tidak (HET naik), jumlah subsidi pupuk akan kurang.

Menimbulkan masalah

Jika harga pupuk dinaikkan, akan memberatkan petani. Kenaikan harga akan membuat petani berusaha menebus sebanyak mungkin pupuk subsidi dengan HET lama.

Apalagi saat ini menjelang musim tanam rendeng yang biasanya dimulai pada akhir November hingga awal Desember. Bagi mereka, kenaikan 10 atau 20 persen saja sudah berat, apalagi naik hingga 85 persen. Buat petani, kenaikan pupuk memiliki dampak yang signifikan karena pengadaan pupuk tidak bisa ditunda.

Oleh sebab itu, meskipun komponen pupuk dalam biaya produksi hanya 10 persen, jika terlambat pengadaannya berdampak langsung pada produksi gabah. Kondisi itu berpeluang menimbulkan kesenjangan antara permintaan dan pasokan. Dengan demikian, berpeluang terjadinya kelangkaan pupuk.

Persoalan lain, lambannya pemerintah memutuskan HET baru tentu mengiurkan bagi para spekulan. Mereka akan berusaha mendapatkan celah membeli harga pupuk bersubsidi yang lama.

Hal itu sangat mungkin karena dari total alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 5,2 juta ton baru ditebus 4,56 juta ton itu pun angka penebusan hingga Desember 2009. Apabila dihitung periode Januari-Oktober hanya sekitar 3,45 juta ton atau sekitar 81 persen dari total alokasi nasional pupuk bersubsidi.

Anggaplah penebusan itu hingga satu tahun, maka masih ada sisa sekitar 700.000 ton. Jika para spekulan ini bisa menebus 100.000 ton pupuk subsidi dan bisa dijual dengan harga lebih mahal Rp 500 per kg, mereka bisa mengantongi Rp 50 miliar. Belum lagi jika pupuk itu dijual ke kebun yang saat ini harganya Rp 2.700 per kg di lini I (pabrik).

Namun, cara itu tidak mudah karena spekulan harus bisa mengatur dokumen serapi mungkin. Paling tidak, mereka harus rapi bekerja sama dengan kelompok tani dan instansi terkait untuk membuat dokumen yang benar.

Hal ini harus dilakukan agar pupuk bisa ditebus di lini III dan IV, pabrikan bisa mencairkan angka subsidi, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Meskipun sulit, peluang itu tetap bisa dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com