Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Listrik: Saatnya Bertindak, Bukan Pemetaan

Kompas.com - 13/11/2009, 07:43 WIB

 

 

 

Doty Damayanti

KOMPAS.com - Pemadaman bergilir yang terjadi di sebagian besar wilayah Jakarta sepekan terakhir kembali menyentakkan kita pada realita masalah krisis listrik yang belum juga terselesaikan. Pemadaman juga terjadi di sejumlah wilayah Tanah Air. Masalah listrik adalah masalah serius.

Dalam rencana kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan penyelesaian masalah kelistrikan di urutan kedua setelah pemberantasan korupsi. Pemerintah akan memetakan kekurangan listrik di setiap provinsi dan penambahan tenaga listrik yang diperlukan jika ditambah proyeksi lima tahun pertumbuhan.

Dalam 100 hari akan dirumuskan pula kebutuhan pembangkit berskala kecil, kontribusi listrik swasta, dan kewajiban pemerintah daerah bersinergi dengan dunia usaha dalam meningkatkan kapasitas listrik.

Penempatan krisis listrik sebagai prioritas masalah, tentu melegakan. Namun, penjabaran langkah yang akan dilakukan pemerintah dalam mengatasi krisis sangat mengecewakan. Pemetaan berarti sebatas identifikasi, sementara permasalahan di lapangan sudah terkait hal-hal teknis yang sebagian besar sebenarnya bukan pula hal baru yang tidak diketahui sebelumnya.

Hanya saja, posisi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Negara BUMN ditempati orang-orang baru yang tidak memiliki latar belakang ataupun pengalaman terkait masalah energi.

Soal proyeksi pertumbuhan dan kebutuhan pembangkit dan kontribusi listrik swasta sudah terangkum dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dijabarkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Keduanya disusun setiap 10 tahun. RUPTL terbaru adalah RUPTL 2009-2018.

Menengok ke belakang, defisit listrik yang sangat parah saat ini masih merupakan buntut dari ketiadaan penambahan pembangkit listrik sejak krisis ekonomi tahun 1997. Pertumbuhan alami konsumsi listrik 5 persen per tahun tidak terkejar karena berarti dalam 10 tahun saja dibutuhkan pertambahan daya 50 persen.

PLN menghitung dibutuhkan Rp 80 triliun per tahun dana investasi kelistrikan agar bisa menopang pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun. Dana itu sulit dipenuhi PT Perusahaan Listrik Negara selama pemerintah masih menerapkan kebijakan melepas harga bahan bakar pembangkit PLN ke harga pasar, tetapi membatasi harga jual listrik ke konsumen.

PLN diperintahkan untuk memangkas penggunaan bahan bakar minyak, tetapi pemerintah tidak menjamin pasokan bahan bakar penggantinya, yaitu gas dan batu bara. Krisis listrik yang terjadi di DKI Jakarta dan sekitarnya tidak lepas dari akibat buah kebijakan pemerintah yang ambigu.

Ada dua masalah yang menyebabkan sistem kelistrikan di DKI Jakarta defisit. Pertama, sistem kekurangan fasilitas gardu induk (GI). Kedua, ada pembangkit listrik yang menganggur karena tidak ada gas.

Terkait masalah pertama, sistem Jakarta kekurangan GI tegangan ekstra tinggi ataupun GI distribusi. Akibatnya, saat terjadi kerusakan pada GI Cawang dan GI Kembangan, daya listrik dari sistem Jawa-Bali tidak bisa masuk. Ibarat jalan tol, GI adalah pintu tol.

Hasil penyidikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atas kebakaran pada GI Cawang menunjukkan adanya kelebihan beban.

PLN mencatat bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya mengalami beban pertumbuhan cukup tinggi, rata-rata 5 persen pada tahun-tahun terakhir. Dengan demikian, beban puncak sistem Jakarta mencapai lebih dari 5.200 megawatt. Hal ini membuat pembebanan GI yang memasok kota Jakarta, seperti di Cawang, Bekasi, Gandul, dan Kembangan. Semua GI ini sejak tahun 2007 mengalami beban yang cukup kritis, yaitu di atas 90 persen.

Sayangnya, penambahan fasilitas distribusi kurang mendapat prioritas. Bahkan, dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 10.000 MW, penambahan fasilitas distribusi ini tidak berjalan bersamaan. Akibatnya, meski ada tambahan daya dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan, listrik hanya masuk ke sistem besar Jawa dan Bali, tetapi tidak bisa tersalur ke konsumen.

Terkait masalah kedua, defisit listrik di Jakarta bisa dikurangi jika dua turbin baru di kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Karang berkapasitas 240 MW, bisa mendapatkan gas. Saat ini kedua unit pembangkit itu menganggur.

Tahun 1991, PLN pernah gagal mendapatkan gas untuk PLTGU Muara Karang dan PLTGU Priok karena perundingan soal harga dengan produsen gas alot. Pemerintah kembali menjanjikan pasokan gas untuk PLN setelah sebagian gas dari Kilang Bontang tidak lagi diekspor ke Jepang. Gas tersedia mulai tahun 2011. Namun, gas terancam gagal mengalir karena konsorsium Pertamina dan Perusahaan Gas Negara, yang diperintahkan menyediakan fasilitas pengiriman, pecah kongsi.

Apa yang dihadapi Jakarta hanyalah gambaran kecil tentang kendala teknis yang sangat menentukan, tetapi tidak dijamah oleh kebijakan pemerintah. Kondisi yang sama juga dialami sejumlah daerah.

Tidak mengherankan jika Dewan Energi Nasional berani menyebut bahwa Indonesia berada dalam darurat energi. Indikasi darurat itu terlihat dari krisis listrik di daerah penghasil energi, seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Krisis listrik telah menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sosial masyarakat, menghambat aktivitas ekonomi, dan pemerintahan.

Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim mengatakan, meskipun pemerintah sudah meluncurkan program percepatan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara atau proyek 10.000 megawatt untuk mengatasi sumbatan, ternyata implementasi tidak sesuai dengan rencana. ”Terutama terkait dengan kesulitan pendanaan, akhirnya defisit kelistrikan semakin parah,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com