YUNI IKAWATI
KOMPAS.com — Ledakan elpiji pada penggunaan tabung gas berukuran tiga kilogram masih kerap kali terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Kasus itu muncul sejak penggunaan sarana penunjang kompor gas itu diperkenalkan tahun 2008. Apakah yang salah dengan sistem tabung tersebut?
Introduksi penggunaan gas petroleum cair (LPG atau elpiji) dua tahun lalu ditargetkan dapat mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) terutama minyak tanah dalam jumlah yang signifikan, yaitu sekitar Rp 30 triliun per tahun. Semula subsidi Rp 54 triliun per tahun.
Untuk program konversi energi itu, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, pemerintah telah membagikan lebih kurang dari 44 juta tabung gas ukuran 3 kilogram.
"Survei di lapangan menemukan banyak selang dan sistem regulator yang cacat. Adapun dari sisi tabung gas tidak ditemukan masalah," ungkap Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI. Regulator adalah penghubung selang dan tabung gas yang berfungsi mengatur keluarnya gas ke kompor.
Oleh karena itu, menurut Tulus, pemerintah harus mengevaluasi dan memeriksa kondisi sistem kompor dan tabung gas itu. Bila ada bagian cacat yang ditemui, maka produk tersebut harus segera ditarik dan diganti dengan yang sesuai standar.
Tidak sesuai SNI
Munculnya kasus ledakan tabung elpiji akibat kebocoran di selang dan regulator tabung gas mendorong Badan Standardisasi Nasional melakukan survei dan kajian penggunaan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk tersebut.
Kepala BSN Bambang Setiadi menjelaskan, kajian pada tahun 2008 itu meliputi penelitian kelayakan tabung gas, selang, regulator, katup, dan kompor gas. Hasilnya, sebagian besar (66 persen) katup tabung gas baja tidak sesuai SNI.
Data mendetail dipaparkan oleh B Dulbert Tampubolon, peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan BSN. Pengujian selang karet dilakukan untuk mengetahui parameter uji tegangan putus dan uji perpanjangan putus. ”Tidak ada sampel yang memenuhi syarat SNI,” ujarnya.