Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Energi Kita

Kompas.com - 08/10/2011, 04:29 WIB

Oleh Eddy Purwanto

Presiden SBY, dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2012 (16/8), menargetkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 16 persen dibandingkan dengan target APBN Perubahan 2011, menjadi Rp 1.019,3 triliun.

Penerimaan pajak ini memberikan kontribusi hampir 79 persen dari total pendapatan negara. Rasio pajak ditargetkan meningkat dari 12,2 persen (2011) menjadi 12,6 persen (2012) kendati sebagian pengamat memandang itu masih jauh dari harapan. Keprihatinan justru timbul dari rencana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang kontribusinya terhadap total pendapatan negara semakin menurun, tahun 2012 tinggal 21 persen.

Pada 2012, sebagai bagian dari PNBP, pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor sumber daya alam Rp 172,9 triliun, turun 12,42 persen dari target APBN-P 2011, yaitu Rp 192 triliun.

Rincian penerimaan SDA 2012 masih didominasi penerimaan migas (Rp 156 triliun) dan sisanya penerimaan SDA nonmigas (Rp 16,9 triliun). Penerimaan migas dipatok dengan asumsi lifting minyak 950.000 barrel per hari (bph), harga minyak ICP 90 dollar AS/barrel, lebih rendah dari patokan APBN-P 2011, yaitu 95 dollar AS/barrel dan cost recovery yang melonjak dari 12,5 miliar dollar AS pada APBN-P 2011 jadi 13,3 miliar dollar AS dalam RAPBN 2012. Faktor-faktor ini yang menyebabkan kontraksi penerimaan migas 2012.

Kendati lima tahun terakhir kontribusi SDA migas terhadap penerimaan nonpajak rata rata masih 61,2 persen, angkanya dikhawatirkan cenderung terus menurun. Terhadap total pendapatan negara, pangsa penerimaan migas lima tahun terakhir juga menurun, tahun 2006 masih 32 persen dan 2011 diperkirakan tinggal 18 persen. Di satu sisi positif karena negara seharusnya tak lagi menggantungkan pendapatan dari SDA, terutama sumber daya tak terbarukan seperti migas, dengan menggali sumber penerimaan dari sektor lain, seperti perpajakan, industri, jasa, perbankan, tetapi di sisi lain, volume migas khususnya minyak bumi masih sangat diharapkan bertahan lebih lama dari 2025.

Energi baru dan terbarukan sulit berkembang karena penguasa masih memanfaatkan minyak sebagai komoditas politik dan perangkat politik populis sehingga sulit menurunkan secara nyata pangsa minyak dalam bauran energi nasional. Sementara produksi minyak kian menurun sehingga untuk menutupi kekurangan, pemerintah terpaksa menambah belanja minyak dan subsidi yang cenderung kian mahal.

Para pakar perminyakan yang memercayai teori King M Hubbert memperkirakan produksi minyak Indonesia 2025 tinggal 450.000 bph, sedangkan konsumsi minyak akan mencapai 1,5 juta bph-2 juta bph sehingga Indonesia harus belanja minyak 1 juta bph-1,5 juta bph dengan harga kesetimbangan baru sangat mahal (prediksi Brian Hicks bisa mencapai 300 dollar AS/barrel). Gap berkepanjangan antara kesiapan energi alternatif dan kelangkaan minyak dibarengi tingginya harga minyak dunia akan menjadi pemicu krisis energi kronis pada masa depan.

Rekomersialisasi kontrak

Di luar minyak, SDA yang masih dapat diandalkan adalah gas bumi. Cadangan bisa bertahan 60 tahun lebih. Pada masa sulit, pemerintah masih punya harapan meningkatkan nilai komersial kontrak jual-beli gas—domestik ataupun ekspor—sehingga mampu mendongkrak PNBP sekaligus menutupi kontraksi penerimaan negara dari sektor migas.

Rekomersialisasi kontrak jual-beli gas dapat dilaksanakan lewat berbagai cara, di antaranya renegosiasi harga, volume, tata waktu, bahkan swap atau tukar guling dengan gas dari sumber lain, atau dengan cara lain yang disepakati dengan pembeli.

Indonesia punya pengalaman renegosiasi harga gas ekspor, sebagian berhasil, tetapi banyak yang hanya ”berdansa poco-poco”. Contohnya, negosiasi dengan Petronas untuk kontrak jual-beli gas ke Duyong sekitar 250 juta kaki kubik per hari yang hingga kini belum tuntas. Petronas cenderung mengulur-ulur waktu, sayangnya pemerintah sudah ”menghadiahi” Malaysia saham gratis Blok East Natuna. Pemerintah pernah membentuk tim yang diketuai menteri keuangan (waktu itu) untuk renegosiasi harga gas ekspor. Sayang, tim hanya dibentuk untuk memenuhi kebutuhan politik sesaat sehingga tak jalan dan mati suri.

Di dalam negeri, renegosiasi harga gas layak dilaksanakan dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Manajemen dan publik pemilik saham PGN, terutama asing, wajar mengajukan protes, bahkan menganggap kebijakan pemerintah ini tak fair terhadap investor. Pada awalnya pemerintah, BP Migas, Pertamina, dan seluruh pemangku kepentingan lain rela memberikan harga gas sangat murah kepada PGN (ada kontrak dengan harga gas hanya 1,85 dollar AS per MMBTU) karena beberapa pertimbangan. Pertama, PGN waktu itu masih BUMN yang 100 persen saham dimiliki negara sehingga perlu didukung untuk berkembang. Kedua, harga gas sulit bersaing karena subsidi BBM masih sangat tinggi. Ketiga, harga minyak (dan gas) dunia masih relatif rendah. Keempat, untuk memacu masyarakat dan industri beralih dari BBM ke gas. Kini kondisi PGN sudah berubah, PGN jadi perusahaan publik, pemerintah hanya menguasai 57 persen saham, sedangkan 43 persen dimiliki publik yang sebagian investor asing. Tak adil mempertahankan kebijakan harga gas sangat murah ke PGN demi kepentingan perusahaan dan investor, tetapi mengorbankan kepentingan nasional lebih luas.

Pemerintah sebaiknya juga mengontrol agar tak terjadi praktik monopoli. Dewasa ini PGN menguasai 93 persen distribusi pasar domestik. Sejatinya pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi pelaku usaha lain sekaligus untuk memperbaiki tingkat efisiensi pasar gas domestik. Menurut Fitch (15/8), posisi PGN di pasar cukup kuat untuk dapat menerima kenaikan harga beli gas seperti diusulkan BP Migas dan meneruskan ke pelanggan meski margin akan menurun.

Dengan mendongkrak harga jual gas, penerimaan negara dari migas, khususnya gas, akan meningkat signifikan dalam waktu relatif singkat sehingga mampu menetralkan dampak penurunan lifting minyak dan naiknya cost recovery. Yang penting, kemauan politik dan keseriusan pemerintah, legislator, dan pemangku kepentingan lainnya.

Pemerintah sebaiknya segera membentuk tim rekomersialisasi gas yang beranggotakan wakil dari Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, BP Migas, dan Pertamina, dengan salah satu tugas pokok adalah renegosiasi harga jual gas, baik untuk kontrak domestik (terutama PGN) maupun luar negeri, khususnya untuk pasokan ke Malaysia, China, Taiwan, dan Korsel. Mengingat volume gas di dalam kontrak terdiri dari bagian pemerintah dan bagian kontraktor, tim hanya bertugas melaksanakan renegosiasi khusus untuk peningkatan harga jual gas bagian pemerintah.

Eddy Purwanto Praktisi Perminyakan, Mantan Deputi BP Migas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com