Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1.059 Keluarga Masih Hidup di Daerah Bencana

Kompas.com - 14/01/2013, 03:45 WIB

Yogyakarta, Kompas - Dua tahun pascaerupsi Merapi 2010, sebanyak 2.553 keluarga di kawasan rawan bencana Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta direlokasi. Namun, masih ada 1.059 keluarga yang belum bersedia direlokasi. Karena itu, pemerintah mengimbau mereka untuk hidup harmoni dengan ancaman bencana.

Mereka itu terdiri atas 656 keluarga di DI Yogyakarta dan 403 keluarga di Jawa Tengah.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Syamsul Maarif, Minggu (13/1), mengatakan, masyarakat yang tak mau mengungsi boleh tinggal di kawasan rawan bencana. Namun, jika Merapi hendak erupsi, mereka harus bersedia diungsikan.

Syamsul bersama Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono berkunjung ke hunian tetap korban erupsi Merapi di Karangkendal, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman.

Bagi warga yang bersedia direlokasi, pemerintah memberikan lahan 100 meter persegi dan bantuan pembangunan rumah Rp 30 juta per keluarga. Proses sertifikasi tanah dibantu oleh Badan Pertanahan Nasional secara cuma-cuma.

Di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, terbangun 2.083 rumah. Di Magelang, Jawa Tengah, terbangun 406 rumah.

Untuk warga yang belum mau direlokasi, pemerintah tetap menyediakan fasilitas kebutuhan dasar, seperti jalan/jalur evakuasi, sistem peringatan dini, tempat evakuasi, dan peningkatan kapasitas masyarakat. Penyediaan fasilitas ditargetkan selesai sebelum 2014.

Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi Merapi, biaya yang telah dikeluarkan Rp 1,3 triliun. Rinciannya, untuk DI Yogyakarta Rp 770,9 miliar dan Jateng Rp 548,3 miliar.

Agung Laksono mengapresiasi hasil proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascaerupsi Merapi.

Peta risiko

”Untuk kasus Merapi, tidak cukup membuat peta bahaya. Kita perlu peta risiko dan kerawanan,” kata ahli kebencanaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, Minggu, di Jakarta.

Jan mengatakan, strategi dan program mitigasi serta tata ruang di lereng Merapi agar dibuat berdasarkan tingkat risiko. Daerah risiko tinggi harus ditinggalkan masyarakat. Daerah ini bisa digunakan untuk kepentingan kegiatan ekonomi terbatas dengan dilengkapi tempat pengungsian dan perlindungan yang aman.

Daerah rendah risiko bisa digunakan untuk kegiatan ekonomi lebih permanen. ”Tata ruang kita umumnya belum memperhitungkan bencana alam, perubahan iklim, dan potensi konflik sosial,” kata Jan.

Menurut dia, teknis kesiapsiagaan menjelang bencana Merapi relatif lebih mudah daripada tsunami. Namun, secara sosiokultural di Merapi lebih kompleks karena menyangkut sistem nilai masyarakat. (ABK/NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com