Pembicaraan hangat soal Jepang di sela-sela Forum Ekonomi Dunia (WEF) itu, antara lain, soal penguatan kurs yen yang dianggap terlalu cepat dan tak sesuai dengan nilai pasar dan independensi bank sentral.
Pemerintahan baru Jepang yang dipimpin Perdana Menteri Shinzo Abe mendesak agar Bank of Japan (BOJ) mempercepat langkah untuk melawan deflasi yang sudah terjadi selama dua dekade terakhir. Pertengahan pekan lalu, BOJ mengeluarkan target inflasi baru sebesar 2 persen serta program pembelian aset untuk mengucurkan dana ke perekonomian.
Langkah ini mengundang pertanyaan dari berbagai pihak, terkait seberapa jauh bank sentral tertekan secara politik dan bagaimana independensi bank sentral di Jepang.
Amari, yang berbicara hari Sabtu (26/1), mengatakan, bank sentral secara sukarela bekerja sama dengan pemerintah untuk menetapkan target inflasi baru guna meningkatkan perekonomian di negara kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Amari juga menegaskan, kurs yen sepenuhnya ditentukan oleh pasar.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan, dia bukannya tidak khawatir dengan langkah pemerintah baru tersebut. ”Dengan adanya proposal baru tersebut, dapat dikatakan, itu sangat memangkas independensi BOJ. Dalam kasus Jepang selama ini, bank sentral tidak pernah dibebani target inflasi,” kata Merkel.
Hal itu ditepis Amari. ”Anda mungkin mengira ada tekanan politik untuk menurunkan kurs yen, tetapi kami di pemerintahan menghindari pernyataan-pernyataan tentang kurs yen,” ujar Amari.
Gubernur Bank Sentral Korea Kim Chong-soo juga mempertanyakan tentang kemanjuran langkah pelonggaran moneter Jepang dan mengatakan keputusan BOJ untuk mulai membeli aset dalam jumlah tidak terbatas bisa menimbulkan konsekuensi dalam jangka panjang.
”Apa yang mereka lakukan akan menciptakan masalah ganda. Masalah pertama, bahwa dalam level tersebut kurs mata uang akan terpengaruh dan percepatan penguatan juga merupakan persoalan. Mereka melakukannya secara terburu-buru. Kurs stabil adalah kata kunci bagi Bank of Korea,” kata Kim.
Dalam panel yang sama, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde tidak mengkritik langsung, tetapi menyarankan Jepang untuk mempertimbangkan langkah dalam jangka menengah terkait upayanya mengurangi defisit utang publik.
”Jepang telah membuat keputusan penting. Kami sangat tertarik dengan kebijakan ini. Kami akan lebih menghargai lagi jika ada kebijakan dalam jangka menengah tentang bagaimana mengurangi utang publik,” ujar Lagarde.
Saat ini, utang Jepang mencapai 235 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya, sebelum Abe mengumumkan program stimulus tahun ini.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral Kanada Mark Carney mengatakan, kebijakan Jepang secara mendasar tidak bertentangan dengan aturan yang mengikat pada Kelompok Tujuh negara industri maju (G-7), khususnya tentang intervensi mata uang secara unilateral.
Namun, salah satu sumber dari Bank Sentral Eropa (ECB) mengatakan, ECB sebenarnya tidak terlalu senang dengan langkah ”devaluasi” yen tersebut. Menurut sumber tersebut, menteri keuangan dari Kelompok 20 negara maju dan berkembang (G-20) harus membahas permasalahan ini pada pertemuan bulan depan.
”Saya rasa ini adalah isu yang harus dibicarakan pada pertemuan G-20. Ada masalah besar, yaitu perang mata uang yang harus kita hindari. Saat ini belum menjadi masalah, tetapi jika Jepang terus melakukan hal ini akan menjadi persoalan,” ujar sumber tersebut.
”Risiko ini akan dipikul dunia dan memiliki dampak terhadap kurs valuta asing. Kita akan terjebak dalam situasi yang sulit,” ujarnya lagi mengkhawatirkan dampak yang mungkin terjadi dari pelemahan kurs yen itu.