Jakarta, Kompas
Hal tersebut ditegaskan Guru Besar Perikanan Tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Ari Purbayanto, saat dihubungi
Komisi IV DPR, Rabu ini, dijadwalkan memanggil pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meminta klarifikasi terkait Permen-KP No 30/2012, khususnya terkait kebijakan kapal pukat cincin 1.000 GT.
Ari mengingatkan, Pasal 25 b Ayat (2) UU Perikanan mengatur bahwa pengeluaran produk perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Selain itu, Pasal 41 Ayat (3) juga menyebutkan, setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lain yang ditunjuk.
”Penyelenggara negara tidak patuh pada aturan. Kebijakan ini untuk siapa? Pemerintah seharusnya berpihak pada nelayan kecil yang jumlahnya dominan ketimbang membuka investasi besar untuk mengangkut ikan ke luar negeri,” ujar Ari.
Lebih dari itu, menurut Ari, Permen-KP 30/2012 juga melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang mewajibkan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Pemerintah selama ini dinilai tidak berdaya mengawasi wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Masih banyak kapal asing berbendera Indonesia yang bebas beroperasi di Laut Arafura dengan alat tangkap berbahaya, seperti pukat harimau ganda. Sementara itu, fungsi petugas pengawasan (
Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengemukakan, pengadaan setiap kapal pukat cincin 1.000 GT akan menambah tangkapan 12.000 ton per kapal per tahun. Namun, eksploitasi ikan yang berlangsung di wilayah pengelolaan perikanan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sudah memasuki ambang batas maksimum. (LKT)