Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak Selamanya Menjadi TKI

Kompas.com - 13/03/2013, 02:55 WIB

Bagi tenaga kerja Indonesia, memutuskan merantau bekerja ke luar negeri bukanlah keputusan yang sederhana. Mereka harus pergi meninggalkan orangtua, suami, bahkan anak-anak yang masih berusia balita. Semua itu dilakoni demi perbaikan ekonomi keluarga di kampung.

Itu pula yang dirasakan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hongkong yang lebih bangga disebut buruh migran Indonesia (BMI). Tak ingin membuang waktu di negeri asing, sebagian TKI berinisiatif mencari penghasilan tambahan pada hari libur. Mereka berjualan soto, rawon, tas sulaman, sampai jamu di Victoria Park.

Ira Resnawati (33), misalnya. Buruh migran asal Surabaya, Jawa Timur, ini nyambi berjualan jamu. ”Daripada buang waktu, lebih baik jualan,” katanya.

Ira yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga bahkan telah mempekerjakan empat karyawan yang juga sesama rekannya untuk membantu menjual jamu, seperti beras kencur, kunir asem, dan suroh. Per botol jamu ukuran sekitar 600 mililiter dijual 25 dollar Hongkong (HK) atau setara dengan Rp 31.000. Pelanggannya juga sesama BMI. ”Saya bikin jamu belajar dari orangtua,” ujarnya.

Setiap hari Minggu, Ira dan empat karyawannya berjualan di Victoria Park. Setiap minggu, ia bisa meraih pendapatan kotor hingga 7.000 dollar HK pada musim panas dan 5.000 dollar HK pada musim dingin. Setiap hari, Ira juga menjual jamunya di pasar, pagi sebelum kerja.

Dari jualan jamu, ia menyewa tempat tinggal sendiri yang juga dijadikannya tempat produksi di daerah Mong Kok dengan biaya sewa 3.000 dollar HK per bulan. ”Kalau tinggal di rumah majikan tidak bisa bikin jamu,” kata Ira yang menerima upah dari majikannya sebesar 4.000 dollar HK, setara dengan Rp 4,9 juta, per bulan dengan jam kerja pukul 08.00-21.00.

Yang unik dan kreatif adalah cara Ira berjualan jamu. Untuk menarik konsumen, ia bergoyang ala pedangdut Inul Daratista. Pakaiannya pun ala pedangdut. Jualan jamu dilakukan kucing-kucingan dengan aparat Hongkong karena pekerja migran dilarang berjualan.

Untuk menyiasati itu, karyawannya memiliki tugas masing-masing, yakni bagian menawarkan jamu dan yang menerima pembayaran. ”Dengan cara itu tidak ada bukti transaksi jual-beli,” ujarnya.

Strategi jualannya terbukti sukses. Awalnya, ia hanya mampu menjual 20 botol. Sekarang bisa habis 300-an botol per minggu. Ira mampu mengantongi laba bersih sekitar 3.000 dollar HK per minggu. Setiap karyawan mendapatkan upah 300-400 dollar HK per minggu.

Sukses Ira juga dinikmati keluarga dan orangtuanya. Orangtuanya dibiayai beribadah haji. Suaminya, Imron (48), dimodali membuka usaha travel. Sebuah mobil Kijang Innova sudah dibeli. Rumah berlantai dua pun sudah dimiliki. Ira tertarik membuka kos-kosan, usaha jamu, dan travel di Surabaya setelah tidak lagi menjadi TKI. Untuk itu, ia ingin mengumpulkan modal tambahan. ”Target saya, dua hingga tiga tahun lagi saya pulang,” katanya.

Namun, itu semua ada konsekuensinya. Ira harus berpisah dengan anaknya, Imam Nurwakhid (8), sejak enam tahun silam. Sejak menjadi TKI, Ira belum pernah pulang kampung. Ia memilih menahan kangen demi mengumpulkan modal.

Pekerja migran asal Indonesia yang nyambi berjualan di Victoria Park seperti Ira tidak sedikit jumlahnya. Haryati (43), asal Kebumen, Jawa Tengah, juga memanfaatkan waktu liburnya pada hari Minggu dengan membuat tas rajut. Sebuah tas rajut dijual 200 dollar HK. Lumayan untuk menambah upah bulanan yang diterimanya sebesar 3.900 dollar HK.

Semangat berwirausaha pekerja migran direspons Bank Mandiri. Sejak 2011, bank beraset Rp 635,5 triliun itu menggelar program Mandiri Sahabatku untuk memberi pelatihan kewirausahaan bagi pekerja migran Indonesia.

”Ini untuk membantu para pekerja migran agar mampu mandiri saat kembali ke Indonesia,” kata Zulkifli Zaini, Direktur Utama Bank Mandiri di Hongkong. Program yang digelar bersama Universitas Ciputra Entrepreneurship Center itu telah diikuti 2.918 pekerja migran di Hongkong dan Malaysia.

Daeri Calim (35), asal Indramayu, Jawa Barat, peserta pelatihan kewirausahaan, pun tergerak membuka usaha di Indramayu. Ia mulai merintis warung makan yang kini dikelola kedua orangtuanya. Tekad Daeri membulat untuk pulang kampung Agustus nanti setelah kontrak kerjanya berakhir. ”Saya mau kelola warung itu,” katanya.

Tekadnya berwirausaha kian teguh karena ingin mendampingi putrinya, Salsabila Dina (8), yang ditinggalkannya sejak usia dua tahun. Dengan berbagai tekanan pekerjaan, pekerja migran Indonesia tetap gigih di negeri asing. Mereka ingin membuka lembaran baru. Tak lagi jadi pekerja, tetapi majikan. (ERWIN EDHI PRASETYA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com