Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Rumput, Mereka Mengenal Beras dan Sekolah

Kompas.com - 24/12/2013, 14:27 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com — Jemari gadis itu lincah bergerak. Sepotong tali plastik biru dia jalin dengan sejumput rumput. Segerumbul demi segerumbul ikatan ia susun hingga menjadi tumpukan, di sudut sebuah gubuk gelap di tepi pantai.

Bercelana pendek dipadu baju bermotif tutul merah berseling putih gaya anak zaman sekarang, ia sesekali melempar senyum kepada orang-orang yang mengamatinya bekerja. Tak sekali pun ia menampakkan kecanggungan.

"Gengsi? Tidaklah. Kalau tidak ada rumput ini, mana bisa saya sekolah," ujar gadis itu ringan. Komang Ria namanya. Ia siswi kelas III SMA Wisata Dharma, satu-satunya SMA di pulau itu.

Kompas.com/ Palupi Annisa Auliani Komang Ria, siswi kelas 3 SMA yang setiap hari bergelut menjalin bibit rumput laut sebagai sumber biaya sekolahnya.
Di kampung Ria tinggal, memang hanya ada satu sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama, dan satu sekolah menengah atas. Kehadiran sekolah sebelumnya tak terbayangkan di desa yang tanahnya hanya bisa ditanami ketela dengan mengandalkan curahan air hujan.

Ria memang tak lahir di era "gelap" desanya. Saat dia lahir, sekolah sudah ada, warganya pun sudah makan nasi. Tak terlihat lagi bahwa ini merupakan desa yang dulu sebagian penduduknya ikut program transmigrasi dan kembali karena tak berhasil di tanah rantau.

Namun, kata Ria, cerita zaman susah dia dapatkan dari ibunya, Sri. Cerita itu memberi semangat untuk bersyukur, apa pun kondisi yang harus dijalaninya sekarang.

Cerita tentang "Dewa" rumput laut

Inilah cerita dari zaman modern, zaman kemerdekaan, dan di wilayah yang masuk daerah administratif Pulau Dewata. Cerita ini juga bukan kisah puluhan tahun lalu. Baru sekitar 20 tahun.

"Mungkin kalau Pak Bambang ke sini lagi, dia sudah disembah seluruh penduduk pulau," kata Sandiasa, lelaki paruh baya. Bambang, tutur dia, adalah pengusaha Jakarta yang suatu ketika datang ke pulau ini dan mengajak penduduk bertani rumput laut.

Konon, kata Sandiasa, Bambang, entah siapa ini, semula mendapatkan pasokan rumput laut dari para nelayan di kawasan Nusa Dua, di Pulau Bali juga. Namun, wisata yang merambah Nusa Dua mengikis industri rumput laut di pantai tersebut.  "Baru tahun 1990-an," kata Sandiasa.

Kompas.com/ Palupi Annisa Auliani Keluarga Sandiana, warga desa Nusa Lembongan, Desa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung, Bali, mengolah rumput laut. Hasil panen mereka pilah, sebagian juga disiapkan untuk jadi bibit baru. Gambar diambil Sabtu (21/12/2013).

Penjelajahan Bambang yang entah siapa itu pun sampai ke Nusa Lembongan, kampung Ria dan Sandiasa. Nusa Lembongan berada masuk wilayah administratif Desa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung, Bali. Dari Benoa, Kuta, pulau ini bisa dijangkau menumpang kapal cepat dengan waktu tempuh 45 menit.

Menurut Sandiasa, Nusa Lembongan dipilih oleh Bambang karena punya fenomena pasang surut laut yang khas. "Kalau surut, kita bisa menyeberang ke pulau seberang dengan berjalan kaki," kata dia, menunjuk teluk yang membentang di salah satu sisi Nusa Lembongan. Fenomena ini sangat cocok untuk budidaya rumput laut.

"Sebelum Pak Bambang ke sini, kami tidak pernah makan beras. Kami hanya makan ketela," tutur Sandiasa. Beras terlalu mahal, bahkan untuk dibayangkan bisa dibeli pada masa itu. "Sebaliknya, anak sekarang sudah tak bisa lagi makan ketela," ujar Sandiasa tertawa.

Mahalnya Nusa Lembongan

Atas undangan Bank BJB, Kompas.com berkesempatan menyambangi sentra industri rumput laut di Nusa Lembongan. Jangan dibayangkan pulau ini dipenuhi bangunan layaknya orang kenal tentang Bali, seperti di Kuta atau Denpasar.

Bahkan setelah rumput laut mengenalkan penduduk Nusa Lembongan pada beras dan sekolah, kesan kampung tak lekang dari Nusa Lembongan. "Semuanya mahal di sini," ujar Wayan Arta, salah satu pemandu wisata di Nusa Lembongan.

Arta mengatakan, uang untuk satu rumah bata di Lembongan, yang bahkan belum sempat dicat dan berukuran 50 meter persegi tanpa pernak-pernik arsitektur apa pun, bisa mendapatkan gedung bertingkat bila dibangun di daratan utama Pulau Bali.

Sebagai pembanding, Arta menyebutkan satu zak semen 40 kilogram yang di Jawa atau daratan Pulau Bali bisa didapat di kisaran harga Rp 40.000, di Lembongan dihargai Rp 90.000. "Belum lagi biaya tukang yang harus didatangkan dari sana juga," kata dia.

Pembanding lebih sederhana, satu galon air dalam kemasan, di Nusa Lembongan berharga Rp 22.000. "Semuanya didatangkan dari darat," ujar Arta.

Wisata menggerus rumput laut

Bukan maksud Arta tak mensyukuri berkah rumput laut. Dia bahkan mengakui bahwa pendapatan dari rumput laut jauh melampaui penghasilannya sebagai pemandu wisata.

Sebagai pemandu wisata, Arta mengatakan bahwa pendapatannya per bulan paling berkisar Rp 4 juta. Sementara itu, dari rumput laut, per karung ukuran 85-an kilogram di tingkat petani bisa dihargai Rp 800.000-an.

Sandiasa mengatakan, setiap petak lahan rumput laut ukuran sekitar 10 x 10 meter bisa didapatkan 50 ris rumput laut. Ris adalah ukuran mereka untuk ikatan rumput laut.

Dari 50-an ris itu, kata Sandiasa, bisa didapatkan dua karung ukuran 85 kilogram rumput laut "kering petani" setiap kali panen. "Kering petani" adalah ukuran untuk kadar air sekitar 50 persen.

"Panennya seberapa sering dan banyak, tergantung tenaga," kata Sandiasa tertawa. Setiap panen pun tak berarti seluruh rumput laut diangkat. Ada ukuran layak tertentu, dengan menyisakan yang lain untuk tumbuh.

Ikatan yang dibuat Ria adalah bakal bibit baru untuk ditabur kembali ke petak lahan rumput laut. Semua rangkaian itu tak berhenti per hari. Ukuran "kering petani" pun bisa didapat dari penjemuran satu hari saja, bila hujan tak turun.

Andai saja ada Bambang-Bambang lain menggerakkan industri rumput laut Nusa Lembongan untuk naik kelas, bisa jadi kesejahteraan warga pulau ini bisa meningkat. Selama ini, rumput laut "kering petani" dikumpulkan pengepul dan dibawa ke Surabaya dengan kadar air 35 persen.

Setelah dikumpulkan di Surabaya, pengolahan lebih lanjut mendapatkan rumput laut kualitas ekspor yang per kilonya bisa jutaan rupiah. Rumput laut adalah bahan baku untuk beragam produk turunan, mulai dari makanan sampai kosmetik kelas dunia.

Namun, kekhawatiran pun diungkapkan Arta. "Mungkin lima tahun lagi, wisata akan menghapus rumput laut juga dari Nusa Lembongan."

Arta mengatakan, saat ini tak ada satu pun warga Nusa Lembongan menganggur. "Karena wisata." Menurut Arta, fakta ini tak bisa dimungkiri, tetapi sekaligus membuatnya khawatir soal masa depan pulaunya.

Menurut Arta, dari pendapatan sudah dapat dihitung, potensi rumput laut yang jauh lebih besar daripada wisata. "Memang capek, tapi rumput laut lebih menjanjikan, harusnya," ujar dia sembari menerawang.

Barangkali Nusa Dua, yang tak lagi menyisakan sepotong pun kisah rumput laut sebagai penyambung hidup masyarakat di suatu masa, tergambar di benaknya. Petak-petak yang membayang hitam di hamparan laut Nusa Lembongan mungkin sedang dia terakan lekat-lekat di ingatannya.

Kompas.com/ Palupi Annisa Auliani Inilah lahan tanam rumput laut di Nusa Lembongan, Desa Lembongan, Nusa Penida, Klungkung, Bali. Gambar diambil Sabtu (21/12/2013).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com