Lantas seperti apa entrepreneurial leadership yang kita tunggu-tunggu itu. Kalau kita mau belajar dari JKnomics, maka lebih kurang intinya begini.
Pertama, perencanaan itu berawal dari sebuah tindakan. Ini berarti membalikkan semua peradaban lama yang kita anut di era Bappenas—Wijoyonomics. Jadi, awalnya bukan sebuah rencana besar yang mengikat dan lengkap, melainkan sebuah ketukan pintu. Dari small action itu, pemimpin akan menemukan realita besar, yang baru kemudian dituangkan dalam sebuah rencana yang disempurnakan secara bertahap dan adaptif.
Kedua, metode pendidikan pun perlu mengikuti ritme baru ini. Dari teori-teori-teori (kertas-kertas-kertas) ke praktik di akhir sekolah (think then action), menjadi: praktik-praktik yang menyenangkan, lalu baru berteori atau menyusun rencana (action then think).
Ketiga, micromanaging bukan lagi hal yang tabu atau remeh. Justru di saat negeri dikuasai mental berpikir yang terkotak-kotak, dengan birokrat dan politisi sebagai raja-raja kecil yang menguasai anggaran, pemimpin justru harus memeriksa dan mengawal program sampai ke lapisan paling bawah. Artinya, pemimpin tak boleh hanya duduk manis di kursi empuknya. Ia harus turun sampai ke gorong-gorong yang kotor, memeriksa apakah semua bisa berjalan. Sebab, apa pun juga, ekonomi adalah soal kesejahteraan, dan yang perlu diperjuangkan itu ada di lapisan paling bawah.
Keempat, koordinasi harus dipimpin dengan tangan besi yang kuat. Sebab, horizontal alignment, yang menyatukan satu jajaran ke samping, benar-benar tidak bekerja di negeri ini. Semua pejabat dan politisi lebih gemar menjadi penjaga palang pintu rel kereta api yang “memungut pajak jalan” ketimbang menjadi pengatur lalu lintas yang setia kepada pelayanan umum. Mentalitas melayani dibangun dengan kekuatan berkoordinasi, yang gesit dan siap mengganti bila mereka tetap menutup pintu.
Kelima, kaya dengan gagasan-gagasan baru, berani mengeksplorasi peluang-peluang baru, berpihak pada kepentingan rakyat secara luas, merangkul perbedaan, dan membangun platform baru yang berbasiskan kompetensi dan kinerja.
Dan terakhir, berani menghadapi tekanan-tekanan yang muncul akibat resistensi dan gejolak perlawanan, karena terusiknya kenyamanan dan kepentingan-kepentingan. Ini akan banyak dihadapi dalam masa-masa sulit ke depan, seperti penghapusan subsidi BBM. Di mana selama ini pemerintah berkeyakinan pada asumsi lama bahwa subsidi mampu menekan inflasi.
Fakta-fakta baru justru menemukan subsidi BBM menjadi beban ekonomi, mengganggu kemandirian, dan menimbulkan kenyamanan semu. Karena sifatnya yang non renewable, fossil fuel policy harus bisa diarahkan pada pencarian sumber-sumber energi terbarukan, bukan menjarah alam yang tak tergantikan.
Artinya, bangsa ini harus lebih siap beradaptasi ketimbang hidup dalam inertia yang menghimpit. Itu sebabnya, kita masih memerlukan pemimpin dengan spirit of entrepreneurship yang kuat, yang bisa kita pelajari dari JK.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.