Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

JKnomics, Paradigma Berani Membuka Pintu Kesempatan

Kompas.com - 15/05/2014, 14:58 WIB

Seiring waktu berjalan, saat ini kita kembali sangat merindukannya. Saya sendiri selalu mengamati langkah pemimpin-pemimpin yang cara bekerjanya mirip JK. Dan itu sesungguhnya juga ada di kaki-tangan dan hati sejumlah calon presiden, apakah itu Prabowo Subianto, Joko Widodo, ataupun Dahlan Iskan. Mereka adalah entrepreneur dengan kombinasi yang berbeda-beda: militer, jurnalistik, dan pemerintahan. Mereka adalah pendobrak pencari pintu keluar yang tak pernah letih menyusuri jalan-jalan baru dan mengajak keluar dari kesulitan.

Bagi saya, kalau ditanya, "What is JKnomics?", maka jawabnya sederhana: Selalu ada pintu keluar dari segala kesulitan. Sewaktu saya tanya pada kerabatnya di Makassar, pengusaha Aksa Mahmud menyebutnya sebagai “saudagar” yang berarti “manusia dengan seribu akal.”

Anda yang tak terbiasa, bisa saja mengolok-ngoloknya sinis dengan mengatakan, “Ah itu kan akal-akalan, nanti kita diakal-akali.” Stop! Nanti dulu, sebenarnya itulah yang terjadi di sini yang tengah dilakukan bangsa-bangsa asing: menguras kekayaan alam dan geografis Indonesia. Ini terjadi karena kita dikuasai oleh kelompok orang yang “mudah mati akal”.

JK, Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Dahlan Iskan sudah kenyang bermain dalam dunia usaha yang medannya penuh kompetisi dan membutuhkan kecepatan bertindak serta kecermatan menghadapi risiko. Mereka mendapatkan entrepreneurship dari pengalamannya sebagai entrepreneur. Sudah pasti mereka menginginkan perubahan, dan sama-sama gelisah menyaksikan birokrasi yang lumpuh, yang boros, dan selalu “menutup pintu” atau bahkan menyatakan “pintunya sudah tertutup”, “tak ada pintu yang terbuka lagi”.

Itulah constraint-based thinking, yang muaranya adalah bureaucratic leadership, bukan entrepreneurial leadership.

Lantas seperti apa entrepreneurial leadership yang kita tunggu-tunggu itu. Kalau kita mau belajar dari JKnomics, maka lebih kurang intinya begini.

Pertama, perencanaan itu berawal dari sebuah tindakan. Ini berarti membalikkan semua peradaban lama yang kita anut di era Bappenas—Wijoyonomics. Jadi, awalnya bukan sebuah rencana besar yang mengikat dan lengkap, melainkan sebuah ketukan pintu. Dari small action itu, pemimpin akan menemukan realita besar, yang baru kemudian dituangkan dalam sebuah rencana yang disempurnakan secara bertahap dan adaptif.

Kedua, metode pendidikan pun perlu mengikuti ritme baru ini. Dari teori-teori-teori (kertas-kertas-kertas) ke praktik di akhir sekolah (think then action), menjadi: praktik-praktik yang menyenangkan, lalu baru berteori atau menyusun rencana (action then think).

Ketiga, micromanaging bukan lagi hal yang tabu atau remeh. Justru di saat negeri dikuasai mental berpikir yang terkotak-kotak, dengan birokrat dan politisi sebagai raja-raja kecil yang menguasai anggaran, pemimpin justru harus memeriksa dan mengawal program sampai ke lapisan paling bawah. Artinya, pemimpin tak boleh hanya duduk manis di kursi empuknya. Ia harus turun sampai ke gorong-gorong yang kotor, memeriksa apakah semua bisa berjalan. Sebab, apa pun juga, ekonomi adalah soal kesejahteraan, dan yang perlu diperjuangkan itu ada di lapisan paling bawah.

Keempat, koordinasi harus dipimpin dengan tangan besi yang kuat. Sebab, horizontal alignment, yang menyatukan satu jajaran ke samping, benar-benar tidak bekerja di negeri ini. Semua pejabat dan politisi lebih gemar menjadi penjaga palang pintu rel kereta api yang “memungut pajak jalan” ketimbang menjadi pengatur lalu lintas yang setia kepada pelayanan umum. Mentalitas melayani dibangun dengan kekuatan berkoordinasi, yang gesit dan siap mengganti bila mereka tetap menutup pintu.

Kelima, kaya dengan gagasan-gagasan baru, berani mengeksplorasi peluang-peluang baru, berpihak pada kepentingan rakyat secara luas, merangkul perbedaan, dan membangun platform baru yang berbasiskan kompetensi dan kinerja.

Dan terakhir, berani menghadapi tekanan-tekanan yang muncul akibat resistensi dan gejolak perlawanan, karena terusiknya kenyamanan dan kepentingan-kepentingan. Ini akan banyak dihadapi dalam masa-masa sulit ke depan, seperti penghapusan subsidi BBM. Di mana selama ini pemerintah berkeyakinan pada asumsi lama bahwa subsidi mampu menekan inflasi.

Fakta-fakta baru justru menemukan subsidi BBM menjadi beban ekonomi, mengganggu kemandirian, dan menimbulkan kenyamanan semu. Karena sifatnya yang non renewable, fossil fuel policy harus bisa diarahkan pada pencarian sumber-sumber energi terbarukan, bukan menjarah alam yang tak tergantikan.

Artinya, bangsa ini harus lebih siap beradaptasi ketimbang hidup dalam inertia yang menghimpit. Itu sebabnya, kita masih memerlukan pemimpin dengan spirit of entrepreneurship yang kuat, yang bisa kita pelajari dari JK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Whats New
Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Whats New
Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Whats New
Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com