Dengan upah serendah itu, para buruh harus menyambung hidup dan menafkahi keluarga sementara jaket buatan mereka dikenakan oleh para selebriti dunia, salah satunya David Beckham.
Tidak sedikit dari mereka dipaksa lembur tanpa upah tambahan sebagai pinalti karena bergabung dalam serikat buruh untuk menentang kondisi dan target tidak realistis yang harus mereka hadapi.
Bahkan, untuk menggunakan kamar kecil khusus pekerja pun, para buruh harus pun harus meminta izin terlebih dahulu.
"Ini seperti perbudakan. Manajemen memandang kami para buruh seperti binatang," tutur salah seorang buruh.
Superdry merupakan sebuah label mode kenamaan dunia dan berpusat di Cheltenham, Gloucs, Inggris.
Mengetahui kondisi para buruh tersebut disorot media, pihak Superdry langsung menyatakan untuk segera melakukan investigasi.
Seorang pekerja bernama Ashok Kumar (32) bekerja di pabrik garmen yang memproduksi jaket tersebut di Modelama, Gurgaon, tidak jauh dari kota New Delhi, India.
Ia mengatakan, butuh 30 orang buruh untuk membuat 10 buah jaket dan setiap tindakan mereka diawasi oleh supervisor.
Ashok dibayar 6.203 rupee atau 61,82 poundsterling yang setara Rp 1,2 juta untuk 27 hari selama bulan Juli 2015.
Ia dibayar sebesar 28 pence sterling sehari dengan lama kerja 8 jam, meski ia mengaku seringkali bekerja selama 16 jam per hari untuk mencapai target produksi.
"Jumlah itu tidak cukup untuk hidup. Kami dilecehkan secara verbal, kami diejek. Namun, saya tidak bisa keluar. Apa lagi yang saya bisa lakukan? Ada terlalu banyak orang di India yang butuh pekerjaan tapi lapangan kerja tidak cukup. Pihak pabrik tidak akan peduli kalau saya keluar karena selalu ada banyak orang yang mau melakukan pekerjaan itu," ujar Ashok.
Beberapa lembaga advokasi buruh di India, seperti Labour Behind The Label dan The Society for Labour and Development mengecam tindakan pihak manajemen pabrik.
Selain itu, mereka juga mengecam pihak Superdry dan label internasional lainnya untuk bertanggung jawab atas kondisi para buruh.
"Mereka mengontrol kondisi kerja, berapa banyak yang harus diproduksi, berapa upahnya, dan kapan harus dibayarkan. Ini bukan hubungan sukarela. Ini bukan hanya masalah rendahnya upah. Kita bicara tentang tenaga kerja yang sangat rentan dan tertekan secara sosial," tegas Anannya Bhattacherjee, presiden The Society for Labour and Development.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.