Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/10/2016, 20:57 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


MEDAN, KOMPAS.com -- Kota Medan di Sumatera Utara tak hanya punya cerita soal durian, bika ambon, bolu meranti, atau masyarakat multikultural. Kota ini juga punya cerita panjang soal gas bumi.

"Medan adalah salah satu tempat bersejarah masuknya (pemanfaatan) gas bumi di Indonesia,” ujar Romel Manurung, Senior Specialist Asset Reability Management PGN Kantor Wilayah Regional III pada Kompas.com, Jumat (26/8/2016).

Romel bercerita bahwa gas alam masuk ke Medan sudah sejak zaman sebelum kemerdekaan, tepatnya mulai 1937. Sempat terhenti pada awal masa kemerdekaan, pemanfaatan gas bumi kembali berlanjut di sini pada era 1970-an.

“Dulu itu disebutnya hogem, gas dari cracking minyak bumi dan batu bara," ujar Romel.

Ketika pemanfaatan gas dihidupkan kembali di Medan, PGN adalah pemegang mandat pelaksana dari Pemerintah. Namun, saat itu posisi PGN di kota ini bukan semata otoritas pengelola penyaluran gas seperti sekarang.

Dulu, tutur Romel—lelaki yang sudah berkiprah di PGN sejak awal 1980-an—pernah menghasilkan gas sendiri, melanjutkan proses produksi yang dimulai pada era sebelum kemerdekaan.

Sayangnya, tak banyak jejak tertinggal dari era produksi tersebut, di lokasi yang sekarang menjadi kantor PGN Kantor Wilayah Regional III, tempat kerja Romel.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Salah satu jejak sejarah panjang penyaluran dan pemanfaatan gas alam di Kota Medan, Sumatera Utara, diabadikan di halaman kantor PGN Sub Distribusi Wilayah III Area Medan. Gambar mesin pompa ini diambil pada Jumat (26/8/2016).

“Dulu, letak tangki minyaknya itu di sini dan sana,” ujar Romel menunjuk salah satu gedung di tengah area kantornya. Tak ada tugu, prasasti, atau penanda dari lokasi produksi tersebut.

“Secara fisik memang tidak ada (jejak), tetapi air tanah yang mengalir dari kawasan ini masih beraroma minyak. Ya itu lah tanda di sini sempat ada tangki minyak,” tuturnya.

Satu-satunya "saksi" yang masih tersisa dari proses produksi tersebut, adalah pompa gasifikasi. Berwarna merah dengan bentuk seperti meriam kuno saat dilihat dari kejauhan, pompa itu dipasang di dekat pintu masuk area kantor. 

“Inilah bekas peninggalan yang tersisa. Sebenarnya (pompa) sudah berkarat. Lalu kami cat agar lebih kuat,” sebut Romel.

Tak lagi produksi sendiri

Waktu berlalu, pada 1984 produksi gas hasil cracking tersebut tak lagi bisa berlanjut. Pasokan bahan baku dari Medan dan sekitarnya menipis, distribusi gas masih terbatas karena jaringan pipa belum panjang, harga pun melambung.

Pemerintah pun memilih mencari sumber minyak di luar Medan untuk kebutuhan cracking itu. "Kejadian pada 1984," kata Romel. Pasokan lalu mengalir dari Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu.

“Setahun setelah itu, gas alam sudah bisa mengalir kembali ke Medan dengan sumber baru. Sejak itu pula dapur tungku hogem (di Medan) ditutup,” lanjut Romel.

Bertahun-tahun kemudian, Kota Medan dan sekitarnya menikmati fasilitas gas bumi lewat jaringan pipa PGN. Teknologi pun mendukung, dengan kehadiran pipa polyethylene yang relatif lebih murah dibandingkan pipa logam dan punya umur pakai hingga 50 tahun.

Hingga era 2000-an, Medan mengalami masa jaya pemanfaatan gas bumi. PGN pun sudah menjadi perusahaan yang sepenuhnya menyalurkan saja gas bumi dan mengelola jaringannya.

KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES Salah satu proses produksi di PT Kedaung Medan Industrial yang menggunakan gas alam. Gambar diambil pada Kamis (25/8/2016)

Melewati reformasi, Medan pun lalu diincar sebagai wilayah pengembangan industri, berdasarkan fakta pasokan gas pada saat itu yang diprediksi masih punya cadangan dalam jumlah besar.

Puncaknya, pada 2006, pasokan gas yang dialirkan di kota ini dan sekitarnya mencapai 27 MMBTU per bulan. Saat itulah, wilayah Sumatera Utara jadi salah satu pengembangan industri di luar Pulau Jawa.

“Namun, masa jaya itu akhirnya berakhir saat hukum alam kembali berbicara. Cadangan kembali menipis dan terjadi krisis (gas) pada 2014,” tutur Romel.

Krisis dan tantangan gas bumi

Puncak krisis gas alam di Medan terjadi pada 2014. Rencana membangun penampungan gas alam cair (LNG) yang didatangkan dari luar pulau tak jadi terealisasi pula.

Semula, penampungan itu akan dibangun PGN di kawasan Belawan, dengan tanah seluas 2 hektar sudah siap. Dinamika kebijakan perekonomian nasional menjadi alasan, yang akhirnya menempatkan penampungan LNG itu di Lampung.

Lalu, apa kabar pasokan gas untuk Kota Medan dan sekitarnya?

Pasokan lokal tak lagi tersedia, PGN hanya mendapatkan sumber baru gas dari Arun, Nanggroe Aceh Darussalam. Dari semula penampungan LNG tinggal dihubungkan ke pelanggan memakai jaringan yang sudah ada, perubahan kondisi ini mengharuskan PGN membangun jaringan baru sepanjang 300 kilometer ke Arun.
Kompas Video Api Semangat dari Kedaung

Gas cair yang tiba di Arun berasal dari BP Tangguh di Papua Barat. Pengelola penampungan gas cair di Arun pun bukan PGN. Di Kota Medan, PGN sepenuhnya berfungsi sebagai pengelola jaringan dan penyalur gas ke pelanggan, dengan tarif "lewat" saja ke pelanggan.

Hasilnya, pada 2015 harga gas bumi di Medan melambung tinggi. Pada tahun itu, harga gas melonjak dari 8,7 dollar AS per MMBTU menjadi 14,4 dollar AS bahkan sebelum tahun berganti.

(Baca juga: "Di Medan, Kami Hanya Bertahan…")

Industri yang sudah menjadi pelanggan PGN pun harus jatuh bangun menjaga laju produksi.
Harga tersebut memang lalu turun ke level 12,2 dollar AS per MMBTU setelah banyak protes dari pelanggan. Namun, banderol untuk Kota Medan disebut masih jauh dari rata-rata harga gas nasional.

Pelanggan PGN pun rontok. Volume penyaluran gas bumi susut pula sampai kisaran belasan MMBTU saja per bulan.

Titik terang baru mulai datang setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016. Penyesuaian harga dijanjikan segera terealisasi.

“Dengan peraturan itu jadi ada peluang harga gas dibanderol menjadi 9,9 dollar AS per MMBTU seperti yang diajukan para pelaku industri di Medan,” sambung Sales Area Head Medan PGN Saeful Hadi.

(Baca juga: Gas Alam Tersandera "Pemburu Rente"?)

Meski begitu, tantangan belum usai. Penyesuaian harga merujuk pada aturan itu masih terbatas untuk tujuh kelompok industri, yang itu juga masih mensyaratkan perusahaan pemakai gas mendapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Rekomendasi tersebut masih harus diserahkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, untuk perusahaan pelanggan bisa mendapatkan "harga baru" dari PGN sebagai penyalur.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Puluhan kotak ukuran mini dan sedang metering and regulating station (MRS) dari beragam industri yang pernah memakai gas alam sebagai energi untuk produksi, membaur di antara rongsokan dan barang-barang bekas di halaman Kantor PGN Sud Distribusi Wilayah III Area Medan. Gambar diambil pada Jumat (26/8/2016)

Sudah begitu, pelanggan lama sudah banyak yang terlanjur mengganti peralatan produksi terkait bahan bakar, demi mempertahankan level produksi. Gelagatnya, kinerja PGN di Medan belum akan segera pulih ke level pada masa jaya.

Kalaupun masih ada pelanggan dari segmen rumah tangga yang sekarang tercatat 19.000-an, kinerja keuangan PGN tetap tak kembali ke masa jayanya.

“Harga untuk pelanggan rumah tangga sudah ditentukan oleh pemerintah. Kami (PGN) tidak boleh menambah satu rupiah pun,” ujar Romel kembali.

Padahal, gas bumi semestinya menjadi harapan baru bagi energi Indonesia, setidaknya merujuk fakta bahwa Indonesia telah menjadi net importer minyak sejak 2004. Adakah pelajaran teramat mahal dapat dipetik dari sepenggal cerita dari Kota Medan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com