Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemda Akan Kenakan Pajak untuk "Hotel Terapung" di Pulau Komodo

Kompas.com - 01/11/2016, 06:28 WIB
Iwan Supriyatna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Meski cuaca cukup terik dan menyengat, namun hilir mudik kendaraan pengantar wisatawan dari Bandara Komodo menuju Pelabuhan Labuan Bajo cukup terlihat sibuk.

Para turis asing maupun lokal yang turun dari kendaraan pengantar seolah berlomba-lomba menuju kapal atau perahu yang telah mereka sewa secara online melalui jalur travel agent untuk menuju ke Pulau Komodo.

Dengan banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang datang ke Pulau Komodo sekiranya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar bahkan meningkatkan pendapatan daerah. Namun, fakta berbicara lain.

Kompas.com mencoba mewawancarai Kepala kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Labuan Bajo, Usman Husin yang merupakan kakak kandung mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin. Berikut petikan wawancaranya:

Pertanyaan (Q): Pak, sibuk sekali ya lalu-lintas di Pelabuhan Labuan Bajo ini?
Jawaban (A): Ya, seperti yang anda lihat. Turis-turis dari Bandara Komodo langsung diantar travel agent naik kapal melalui Pelabuhan Labuan Bajo ini untuk menuju ke Pulau Komodo dan pulau-pulau lainnya untuk berwisata.

Q: Artinya uang yang berputar di sektor pariwisata di sekitar Labuan Bajo seperti hotel dan resto itu besar juga ya?
A: Ya besar, tetapi tidak sebesar uang yang beredar di atas kapal. Kenapa saya bilang seperti itu, yang saya perhatikan justru turis jarang yang menginap di darat.

Mereka menginapnya di kapal, karena yang mereka kejar adalah wisata laut. Makanya enggak tidak kalau di dalam kapal itu fasilitas kamarnya luar biasa, bisa melebihi fasilitas hotel di darat.

Q: Apa yang membedakan hotel di darat dan "hotel terapung"?
A: Dengan mereka menginap di kapal, mereka lebih bisa menjelajah tempat-tempat yang menarik, waktu juga jadi lebih efisien.

Kalau mereka menginap di darat, waktunya akan terbuang untuk pulang pergi darat laut. Tapi dengan besarnya perputaran uang di "hotel terapung" ini justru saya prihatin dengan Pemerintah Daerah.

Semestinya pendapatan daerah dari kapal-kapal yang menyewakan tempat menginap itu bisa dimaksimalkan. Saya tidak tahu angka pastinya berapa, yang saya tahu kapal-kapal disini banyak yang menyewakan paket penginapan.

Q: Ada berapa kapal yang menyewakan kamar inap yang bersandar di Pelabuhan Labuan Bajo ini?
A: Sekitar 97 kapal pinisi, 210 kapal kecil. Kapal pinisi itu berbeda-beda tipenya, ada yang kapasitas inapnya 4 kamar, ada juga yang 6 kamar. Untuk yang kapal kecil itu ada juga untuk menginapnya.

Berdasarkan informasi yang Kompas.com dapatkan dari salah satu anak buah kapal yang menyediakan penginapan, untuk melakukan perjalanan pulang pergi dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo menggunakan kapal pinisi berkapasitas empat sampai enam kamar, wisatawan harus merogoh kocek sebesar Rp 35 juta untuk satu kali perjalanan sehari penuh.

Sementara untuk kapal kecil, harga yang dibanderol pemilik kapal untuk melakukan perjalanan pulang pergi bisa dikisaran Rp 8 juta tanpa fasilitas menginap.

Q: Pemerintah Daerah tahu besarnya perputaran uang yang cukup besar itu?
A: Ini yang saya prihatin, Pemerintah Daerah kok seolah cuek akan hal ini, seolah tidak ada upaya apa-apa.

Seharusnya kapal-kapal yang menyediakan penginapan itu ada pajaknya. Sehingga pajak yang dihasilkan dari "hotel terapung" itu bisa dirasakan oleh semua masyarakat.

Yang sekarang terjadi kan, uang hanya berputar di travel agent, pajak dari travel agent tidak ada. Hotel juga bisa dibilang kurang laku dengan adanya kapal-kapal yang menyediakan paket fasilitas menginap itu.

Q: Ada kah nama-nama besar yang memiliki "hotel terapung" itu?
A: Ada, misalnya punya Pak James Riady itu kapalnya bagus sekali. Ada juga punya orang Italy, cuma saya lupa namanya. Kapal-kapal itu sering dipakai artis Hollywood.

Bahkan pembalap F1 Michael Schumacher pernah ke Pulau Komodo menggunakan kapal-kapal inap itu. Termasuk artis lokal Luna Maya itu pernah juga. Saya tahu karena saya kan di sini pantau terus.

Kompas.com pun mencoba mengkonfirmasi potensi penerimaan pajak daerah dari "hotel terapung" tersebut ke Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Barat, Rofinus Mbon. Berikut petikan wawancaranya:

Q: Pak apa benar potensi penerimaan pajak daerah dari kapal-kapal yang menyewakan tempat menginap itu besar?
A: Ya memang sangat potensial,

Q: Apakah benar Pemda Manggarai Barat belum cukup optimal memanfaatkan potensi penerimaan pajak daerah dari sektor itu?
A: Karena memang baru mau diberlakukan dan baru akan disosialisasikan.

Q: Selama ini tidak ada peraturan yang isinya mengatur penerimaan pajak daerah dari hotel dan resto di darat maupun laut?
A: Sudah ada, peraturan daerah nya sudah ada sejak 2012, peraturan Gubernur nya pun sudah ada di 2016 tentang pajak hotel dan resto di darat dan laut.

Selama ini kami berlakukan yang di darat, nanti setelah sosialisasi kita akan berlakukan untuk kapal-kapal yang menyediakan penginapan di atas laut.

Q: Artinya, selama ini kapal-kapal yang menyewakan penginapan itu belum dikenakan pajak ya?
A: Kami akan sosialisasikan dulu, kita akan data kapal-kapalnya, kami data juga pemiliknya. Agar penerimaan pajak dari "hotel terapung" itu bisa dimaksimalkan.

Q: Besaran pajak yang ditetapkan berapa dan kapan akan direalisasikan?
A: Sesuai Undang-undang nomor 28 tahun 2010 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, besaranya sekitar 10 persen dari nilai sewa. Secepatnya setelah sosialiasi akan diterapkan.

Kompas TV Jelajah Sepeda Kompas Diharapkan Rutin Diadakan Setiap Tahun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com