Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

"Workplace Bullying": Tidak Terjadi pada Karyawan yang Mau Belajar

Kompas.com - 10/07/2023, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Michelle Faith Oroh dan P. Tommy Y. S. Suyasa*

WORKPLACE Bullying adalah tindakan agresif di tempat kerja yang dilakukan oleh rekan kerja/atasan secara sengaja dan berulang kali dengan tujuan melukai atau membuat seseorang tidak nyaman (Hoel et al., 1999).

Workplace bullying terjadi dalam berbagai bentuk dengan tingkat keparahan (severity) yang berbeda, misalnya:

  1. menyalahgunakan kekuasaan, seperti memberi tugas yang berlebihan di luar kapasitas bawahan/rekan kerja
  2. mengambil/mengakui ide rekan/bawahan sebagai ide pribadi demi penghargaan diri sendiri;
  3. mengucilkan atau mengabaikan rekan kerja, khususnya ketika rekan berbicara/bertanya;
  4. membicarakan (menggosip) hal yang tidak benar, atau menjatuhkan/merusak nama baik rekan kerja/bawahan;
  5. mengolok-olok, memarahi, membentak, atau bersikap agresif secara verbal kepada rekan kerja (di depan orang lain);
  6. memukul, melakukan kekerasan, atau bersikap agresif secara fisik terhadap rekan kerja.

Workplace bullying dapat memprediksi peningkatan psychological distress (Choudhary et al., 2022; Nielsen et al., 2012).

Psychological distress adalah serangkaian gejala fisik dan psikis yang menyakitkan dan berhubungan dengan perasaan negatif yang dialami seseorang (American Psychological Association, n.d.).

Psychological distress merupakan tekanan psikologis yang bersifat merugikan dan juga merupakan tahap awal dari masalah kesehatan mental.

Salah satu tanda dari psychological distress yang dialami karyawan adalah adanya perasaan tidak nyaman ketika ingin berangkat ke tempat kerja ataupun pada saat bekerja.

Perasaan tidak nyaman tersebut dapat terus meningkat dari perasaan gelisah hingga ke kondisi sakit fisik, seperti diare, maag, dan sakit kepala.

Psychological distress juga muncul dalam bentuk perubahan suasana hati yang terjadi secara tiba-tiba (mood swing).

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan workplace bullying adalah work demand constraints (Naseem & Ali, 2023).

Work demand constraints adalah suatu kondisi saat individu menghadapi tuntutan/target pekerjaan (job demand), namun pada saat yang bersamaan individu menghadapi hambatan (minimnya sumber daya).

Tuntutan pekerjaan (job demand) dapat berupa kondisi fisik/psikologis yang bersumber dari tekanan waktu, beban kerja, ataupun lingkungan pekerjaan.

Sedangkan job resource adalah aspek pekerjaan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan motivasi kerja bagi pertumbuhan dan perkembangan pekerja, seperti: otonomi, peluang kemajuan, pembelajaran dan pengembangan.

Work demand constraints terjadi ketika job demand tinggi (misalnya terdapat target pekerjaan) namun, di satu sisi job resource rendah (minimnya otonomi).

Namun demikian, situasi work demand constraint dapat memprediksi terjadinya workplace bullying tergantung dari kepribadian (personality) yang dimiliki individu (karyawan).

Jenis kepribadian (personality) yang dapat memoderasi atau menurunkan kemungkinan terjadinya workplace bullying adalah openness to experience.

Kepribadian openness to experience adalah kecenderungan individu (karyawan) untuk terbuka terhadap pengalaman, memiliki rasa ingin tahu, menghargai informasi/karya (seni), suka mencoba hal baru, kreatif, eksploratif, mudah menerima perubahan.

Dengan kepribadian openness to experience yang dimiliki, karyawan memiliki rasa ingin tahu, akan berusaha mencari informasi, mau mencoba hal/metode baru, eksploratif dalam mengatasi tuntutan pekerjaan yang ada.

Contoh kasus. M merupakan karyawan yang baru pertama kali masuk kerja. M diberikan tugas-tugas yang baru yang boleh jadi belum dipahami, belum dikuasainya, atau melebihi kapasitas yang dimilikinya.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa M mengalami banyak tuntutan (job demand). Pada saat yang bersamaan, M melihat sangat sedikit sumber daya, dalam hal ini rekan kerja/atasan yang bisa dimintai bantuan tampak tidak ada; semua rekan kerja/atasan tampak sangat sibuk.

Pada situasi/kondisi tersebut, M secara positif tengah mengalami work demand constraint (banyaknya tuntutan, namun minimnya sumber daya).

Untunglah M memiliki kecenderungan (kepribadian) openness to experience; M tidak tinggal diam saat mendapatkan tugas-tugas yang boleh jadi belum dipahami, belum dikuasainya.

Ia mencoba untuk tetap terbuka terhadap pengalaman/penugasan yang diberikan; ia memiliki rasa ingin tahu; ia berusaha memaknai/menghargai setiap informasi yang dapat membantu menyelesaikan tugasnya; ia berusaha untuk mempelajari/mengeksplor hal baru.

Dengan openness to experience yang dimilikinya, M terhindar dari kemungkinan mengalami workplace bullying.

M tidak merasa ada tugas yang berlebihan di luar kapasitasnya, yang diminta oleh atasan; semua tugas dirasa masih dalam kapasitas/kemampuannya.

M merasa sejajar dengan karyawan lain yang dapat menyelesaikan tugas-tugasnya. Komunikasi M terkait dengan tugas, dapat diterima (“nyambung”) dengan rekan kerja/atasannya; tidak ada perasaan terkucilkan.

Oleh karena kecenderungan dan usaha mencari informasi baru, M bahkan berpotensi menjadi tempat bertanya bagi karyawan lain.

M tidak dibicarakan oleh karena hal negatif, tetapi malah menjadi pembicaraan mengenai kemampuan atau hal-hal positif yang dimilikinya.

Rekan kerja/atasan tidak memiliki alasan untuk mengolok-olok, memarahi, membentak, atau bersikap agresif karena M mampu menyelesaikan tugas-tugasnya.

Dengan demikian, perlu kita kembangkan kecenderungan (kepribadian) yang dapat meningkatkan sifat keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience).

Berikut ini ada lima tips untuk meningkatkan openness to experience.

1. Membangun keberanian (kepercayaan diri) untuk menerima tugas baru. Dengan memiliki keberanian untuk menerima tugas baru, kita mendapatkan peluang untuk berusaha mencari pengetahuan atau keterampilan baru.

2. Mencoba mencari pengetahuan dan keterampilan yang mendukung penyelesaian tugas, khususnya tugas baru.

Hal ini dapat dilakukan dengan banyak cara, yaitu membaca buku/artikel, menonton berita/film pengetahuan, ataupun berwisata ke suatu daerah/luar negeri untuk melihat dan mempelajari suatu pengetahuan/keterampilan, khususnya yang terkait dengan tugas baru.

3. Perluas zona nyaman. Jika kita tidak memperluas zona nyaman, maka ruang lingkup kita akan sangat terbatas. Perubahan atau berbagai perbaikan yang kita cita-citakan dalam hidup akan sulit tercapai.

Kita perlu berimajinasi bahwa di luar zona nyaman saat ini, terdapat zona nyaman lainnya. Ibarat kita memiliki taman bunga, jika memungkinkan kita perluas taman bunga tersebut, sehingga area bermain (zona nyaman) kita menjadi lebih luas.

4. Berdiskusi dengan orang lain, khususnya dengan orang yang sudah pernah sukses dalam menjalankan tugas-tugas (baru).

Dengan berdiskusi, terbuka peluang/kesempatan bagi kita untuk mendapatkan cara pandang, pengetahuan, keyakinan, dan motivasi untuk bisa menyelesaikan tugas baru.

Dalam berdiskusi untuk mengembangkan openness to experience, hindari perdebatan; berikan kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan opini mereka; cobalah pahami sudut pandang mereka.

5. Miliki pandangan bahwa perubahan adalah hal yang tidak bisa dihindari. Perubahan merupakan hal yang konstan dalam kehidupan.

Dalam perubahan, terdapat dua pilihan, menjadi lebih buruk, atau menjadi lebih baik. Pastikan bahwa kita memilih untuk menjadi lebih baik.

Jikapun, kita tidak bisa berubah untuk menjadi lebih baik, setidaknya kita mampu bertahan, beradaptasi, atau menerima perubahan tersebut; tetap membekali diri dengan pengetahuan mengenai situasi/kondisi terkini, sehingga kita tidak terjerumus menjadi lebih buruk.

*Michelle Faith Oroh, Mahasiswa S1, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
P. Tommy Y. S. Suyasa, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com