Untuk memitigasinya, bank sentral AS, Kanada, Inggris, Jepang, Eropa, dan Swiss mesti mengambil langkah intervensi luar biasa (extraordinary) lewat sokongan likuiditas.
Itu sebabnya, banyak negara mengurangi penggunaan dollar AS. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat, dalam dua dekade terakhir pangsa dollar AS dalam cadangan devisa dunia berkurang drastis. Dari semula 71 persen pada 2020 menjadi hanya 58 persen pada 2022.
Dekadensi serupa terjadi pada surat utang AS. Usai menjadi primadona portfolio investasi dunia, kini surat utang AS lebih banyak dipegang oleh investor domestik.
Data Bank Sentral AS mengungkap, usai mencapai puncaknya sebesar 57 persen pada 2008, pangsa investor asing yang memegang surat utang AS terus terdegradasi hingga menjadi 31 persen pada 2022.
Dalam beberapa tahun ke depan, dedolarisasi diprediksi akan terus menjadi agenda kerja sama ekonomi negara-negara berkembang.
Salah satu yang paling kencang mengembuskan wacana menciptakan mata uang baru adalah BRICS, terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Mirip dengan LCT ataupun Euro, mata uang baru BRICS bertujuan memfasilitasi transaksi perdagangan dan investasi di antara para negara anggota, sekaligus menantang hegemoni dollar AS.
Terlebih, BRICS baru saja menyepakati enam kandidat baru untuk bergabung. Mereka adalah Arab Saudi, Argentina, Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Keenam negara itu akan resmi menjadi anggota pada 1 Januari 2024.
Seperti pepatah, “jangan menaruh telur dalam satu keranjang”, dedolarasi adalah respons logis untuk memitigasi risiko nilai tukar. Ketergantungan dominan terhadap dollar AS terbukti lebih banyak melahirkan mudarat ketimbang manfaat.
Apalagi, saat ini dunia tengah dihadapkan pada era inflasi tinggi. Survei Persepsi Risiko Global 2022-2023 besutan World Economic Forum mengungkap krisis biaya hidup (cost-of-living crisis) sebagai risiko yang dipersepsikan sangat mungkin terjadi dalam dua tahun ke depan.
Tanda-tanda ke arah sana sudah bisa kita temukan pada apresiasi harga beras. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, pada Agustus 2023, harga beras dunia mencapai titik tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Musim kering berkepanjangan (El Nino) dan larangan ekspor beras oleh India menjadi dua penyebab utama lonjakan harga beras dunia. Dalam konteks itu, IMF memprediksi tingkat inflasi dunia tahun ini masih akan tinggi di angka 6,8 persen.
Oleh karenanya, efisiensi biaya transaksi yang ditawarkan LCT akan memberi keuntungan bagi pelaku ekonomi. Lewat skema itu, pelaku perdagangan dan investasi cukup menggunakan kuotasi tunggal tanpa perlu mengonversi ke dalam dollar AS.
Di samping itu, LCT akan memperluas pilihan aset keuangan bagi pelaku ekonomi sehingga menambah keragaman portfolio investasi. Diversifikasi aset tersebut, pada gilirannya, berperan sebagai pelindung dari risiko volatilitas mata uang.
Patut digarisbawahi, upaya meningkatkan utilisasi LCT dengan berbagai negara perlu dibarengi dengan reformasi struktural. Sebab volume transaksi dan jumlah pengguna LCT akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan negara lain terhadap prospek ekonomi dan iklim investasi nasional.
Dalam konteks Tiongkok, bersamaan dengan promosi LCT, sejumlah proyek investasi ditawarkan kepada investor Tiongkok.
Proyek itu terbagi ke dalam empat sektor, yaitu energi terbarukan, proyek di kawasan Ibu Kota Negara, infrastruktur transportasi, dan industri kendaraan listrik.
Keberlanjutan proyek-proyek itu nantinya akan menentukan, apakah skema LCT Tiongkok yang disiapkan sejak dua tahun silam mampu membawa manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.