BEBERAPA tahun lalu, kita masih membicarakan cara menghadapi gaya bekerja para milenial yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
Namun, saat ini, para milenial pun kewalahan menghadapi tim kerja yang kebanyakan merupakan generasi muda atau disebut generasi Z (gen Z).
Jurang perbedaan dengan generasi-generasi sebelumnya pun terasa semakin tajam.
Perlu diketahui, gen Z belum pernah hidup dengan keadaan ekonomi yang stagnan. Dunia mereka adalah dunia start-up. Fokus mereka pun tidak lagi pada transformasi teknologi.
Bagi mereka, teknologi sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Tak heran, berhubungan dengan mereka membuat para milenial merasa tua.
Baca juga: Defisit Keputusan
Seberapa pun besarnya perbedaan antara gen Z dan generasi sebelumnya, suka atau tidak, sebagian dari mereka sudah berada di tengah-tengah kita. Dalam waktu dekat, jumlahnya juga akan terus bertambah memenuhi segmen terbesar dari populasi organisasi kita.
Bagi generasi terdahulu, loyalitas dianggap sesuatu yang penting. Namun, tidak demikian bagi gen Z.
Banyak dari kita merasakan kesulitan mempertahankan generasi ini di organisasi. Dengan informasi mengenai ketersediaan lowongan kerja yang begitu mudah diakses oleh setiap orang, pasaran tenaga kerja menjadi lebih terbuka bagi mereka untuk memilih organisasi yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Baca juga: Kejujuran Diri
Dari survei yang dilakukan Project Management Institute pada 2023 mengenai workplace engagement, ditemukan bahwa lebih dari separuh tenaga kerja yang berasal dari kalangan gen Z tidak bertahan di organisasi untuk waktu yang relatif lama.
Sebanyak 59 persen di antaranya beralasan tidak menemukan kepuasan di tempat kerja, sedangkan 57 persen lainnya mencari pengembangan karier, dan 53 persen merasa ketidakcocokkan antara nilai dirinya dan organisasi.
Bila organisasi meyakini bahwa di tangan generasi muda inilah letak masa depan mereka, perubahan pun perlu direncanakan dari sekarang. Sebab, di masa kini, kita tidak bisa mengharapkan transformasi terjadi secara alamiah.
Bagi gen Z, fleksibilitas dalam bekerja sangat penting. Dengan kemajuan teknologi, ruang dan waktu pun menjadi seamless bagi mereka. Mereka tidak lagi membagi kehidupan dalam dikotomi kehidupan pribadi dan bekerja. Organisasi memang perlu memastikan bahwa kualitas pekerjaan dan layanan yang dihasilkan tetap sesuai dengan standar yang prima.
Baca juga: Tumbuh, Bergaul, dan Selesaikan Tugas
Namun, bila tidak ada urgensi pekerjaan yang mengharuskan karyawan untuk hadir dan bekerja dalam waktu tertentu, perlu ada kebebasan bagi mereka untuk dapat mengatur waktu dan tempat bekerja akan mendorong produktivitas yang lebih baik dan retensi yang lebih tinggi.
Untuk itu, gen Z berharap, organisasi bersedia berinvestasi pada teknologi yang dapat membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien dengan komunikasi dan engagement yang tetap terjaga.
Kebutuhan mereka akan fleksibilitas juga didasari oleh kepedulian akan kesehatan mental individu dan organisasi. Tak hanya itu, melihat keberhasilan penerapan pola kerja pada masa pandemi, mereka pun semakin yakin untuk mendorong organisasi mempertimbangkan metode bekerja hibrida yang dapat membuat individu tetap produktif dan lebih mindful.
Baca juga: Baper
Pandangan lainnya, mendapatkan uang bukan lagi satu-satunya tujuan bekerja bagi gen Z, melainkan bagaimana mereka juga dapat berkontribusi membangun hubungan yang lebih baik dengan keluarga, komunitas, dan bumi tempat mereka tinggal.
Bila generasi sebelumnya lebih banyak memikirkan upah dan kesempatan untuk maju, para gen Z lebih berfokus pada pembelajaran.
Organisasi tidak bisa lagi sekadar berjanji mendukung pembelajaran. Niat menguatkan generasi ini memang perlu menjadi prioritas organisasi.
Baca juga: Memimpin Pertumbuhan
Gen Z sering juga dikenal sebagai generasi instan. Meniti karier selama bertahun-tahun seperti yang dilakukan generasi di atas mereka tidak lagi terlihat menjanjikan.
Sebaliknya, mereka terbiasa dengan umpan balik yang didapatkan dengan segera dari lingkungan yang responsif.
Cara organisasi konvensional yang memberikan umpan balik hanya dua kali setahun dalam penilaian kinerja menjadi tidak efektif lagi.
Interaksi antara gen Z dan para pemberi umpan balik ini dapat mendorong pembelajaran mereka. Oleh karena itu, kesempatan berdialog antara generasi muda ini dan para seniornya untuk berbagi pengalaman hidup yang menjadi kunci sukses, serta poin pembelajaran para senior menjadi hal yang sangat mereka hargai.
Baca juga: Manajemen Pascapandemi
Dialog seperti itu juga memungkinkan reverse mentoring terjadi, yaitu para generasi muda dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan baru pada para seniornya dan membangun hubungan yang lebih egaliter.
Selain individual, kegiatan belajar bersama dengan tim juga perlu dikuatkan melalui kegiatan berbagi ide dan keberanian bereksperimen untuk menemukan inovasi-inovasi baru. Inovasi tidak lagi menjadi beban tanggung jawab divisi penelitian dan pengembangan (litbang) saja, tetapi juga menjadi ajang bagi para jiwa muda ini untuk mengekspresikan diri mereka.
Sebagai pemimpin saat ini, kita perlu berpikir apa yang akan terjadi 5–10 tahun mendatang. Kita perlu memikirkan organisasi untuk para gen Z ini, bukan untuk kita lagi. Maka, pola pikir harus difokuskan dengan kacamata mereka.
Baca juga: Budaya Apresiatif
Pemimpin harus menemukan apa yang memotivasi para generasi muda dan mengembangkan kepemimpinannya demi retensi dan sustainability organisasi.
Bila dulu seorang pemimpin masih bisa melihat ke bawah dan menurunkan perintah, saat ini, kita perlu lebih banyak berlatih memberikan umpan balik secara teratur, konsisten, dan konstruktif untuk pemberdayaan dan membuat gen Z jadi lebih terlibat.
Pemberdayaan penting untuk mendorong berpikir kritis, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan diri, dan menciptakan hasil yang didorong oleh tujuan.
Baca juga: Memaknai Nilai Korporasi
Kepemimpinan adalah keterampilan yang membutuhkan waktu, usaha, dan kesabaran untuk dikuasai dan diteladani. Untuk mengelola tenaga kerja saat ini, sangat penting bagi para pemimpin untuk terbuka terhadap gagasan baru dan meninggalkan kebiasaan lama.
Bias-bias dalam organisasi juga perlu dikurangi dan lebih berfokus meningkatkan empati agar dapat menciptakan employee experience yang lebih meretensi generasi muda.