KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Sok Pintar

Kompas.com - 05/08/2023, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT mengamati interaksi-interaksi di media sosial, kita seolah berada di laboratorium perilaku manusia. Sering kali kita melihat pembicaraan yang berlangsung sangat intensif sekali antara pihak yang merasa benar dengan pandangan mereka sendiri, sementara pihak lain dianggap tidak tahu apa-apa.

Padahal, individu-individu yang sebenarnya menguasai topik-topik yang sedang diperdebatkan bisa jadi memilih untuk diam ketimbang harus beradu suara dengan mereka yang merasa paling tahu tersebut. Pembicaraan seperti ini pun bisa semakin memanas data memasuki tahun politik yang membuat semua orang tiba-tiba menjadi ahli politik.

Fenomena tersebut disebut efek Dunning-Kruger yang dinamakan sesuai dengan penemunya. Fenomena tersebut menggambarkan saat orang-orang yang kurang kompeten dalam suatu bidang cenderung merasa diri lebih pintar dari rata-rata orang kebanyakan. Gejala ini tergolong bias kognitif yang terjadi karena lemahnya self awareness dan rendahnya kecerdasan emosional (EQ) dalam melihat kapasitas diri.

Baca juga: Pompa Semangat

Banyak orang mengaitkan gejala tersebut dengan ungkapan ”fools are blind to their own foolishness”. Charles Darwin dalam buku The Descent of Man menuliskan, "ignorance more frequently begets confidence than does knowledge."

Perlu diketahui, David Dunning dan Justin Kruger mengemukakan fenomena tersebut pada 1999. Temuan ini didapatkan melalui serangkaian eksperimen yang mereka lakukan untuk mengungkap pola perilaku manusia terkait penilaian diri dan kompetensi.

Pandangan umum mengira bahwa orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang kurang akan merasa tidak percaya diri pada kemampuan mereka ketika berhadapan dengan orang lain.

Namun, Dunning dan Kruger dalam eksperimennya menemukan bahwa yang terjadi justru sebaliknya.

Baca juga: Selamat Datang Gen Z

Individu yang mendapatkan skor rendah dalam beberapa tes yang dilakukan oleh Dunning Kruger ternyata menganggap performa mereka berada di atas rata-rata populasi yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa selain memiliki performa yang rendah, mereka juga gagal mengevaluasi kualitas dari pekerjaannya sendiri. Kesimpulannya, menurut Kruger, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan individu untuk sukses dalam suatu hal adalah kualitas yang sama dibutuhkan oleh individu untuk dapat mengenali bahwa mereka tidak cukup kompeten dalam bidang tersebut.

Dampak pada tingkah laku dan kinerja organisasi

Fenomena tersebut sebenarnya bisa menyentuh siapa saja. Meskipun ahli dalam suatu bidang, mustahil kita ahli dalam segala bidang.

Setiap orang pasti memiliki bidang yang kurang mereka kuasai, tidak peduli seberapa banyak pendidikan yang telah dilalui olehnya.

Baca juga: Defisit Keputusan

Orang yang sangat ahli dalam suatu bidang mungkin saja malah salah kaprah, percaya bahwa pengetahuan mereka juga berlaku untuk bidang lain yang sebenarnya kurang familier bagi mereka.

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.
Bayangkan ketika situasi seperti itu terjadi di organisasi, apalagi dilakukan oleh mereka yang duduk dalam posisi yang cukup tinggi. Pimpinan yang merasa sudah memiliki pengalaman paling banyak—mendapatkan kesuksesan demi kesuksesan hingga posisinya sekarang—menampilkan sikap yang sangat percaya diri dalam memberikan pendapatnya.

Padahal, kita tahu bahwa ilmu berkembang terus dan situasi dapat berubah secara terus-menerus. Jadi, apa yang mungkin berhasil pada masa lalu belum tentu berhasil diterapkan di situasi saat ini. Apa yang benar dalam konteks yang satu belum tentu benar dalam konteks yang berbeda.

Baca juga: Kejujuran Diri

Namun, dengan posisi dan sikap dominan yang ditunjukkan oleh pemimpin tersebut, anggota tim dan bawahan pun bisa jadi enggan untuk mengingatkan ataupun membantahnya.

Padahal, dalam jangka panjang, kondisi seperti itu dapat merugikan bagi organisasi. Apalagi, orang-orang seperti itu biasanya memilih dekat dengan anggota tim yang mendukung pendapatnya ketimbang mereka yang berani melawannya.

Hal itu karena ia tidak dapat memahami kekurangan dari kompetensinya sendiri sehingga argumentasi perlawanan dari anggota tim lain dianggap sebagai penyerangan terhadap pribadinya. Inilah mengapa lebih banyak orang yang memilih diam dan menghindari konflik.

Baca juga: Tumbuh, Bergaul, dan Selesaikan Tugas

Dunning juga menyebutkan bahwa individu seperti itu tidak memiliki cukup metakognisi untuk mengambil jarak dan melihat diri sendiri dan hubungannya dengan orang ataupun situasi lain, untuk dapat membuat penilaian yang lebih obyektif. Perspektifnya yang pendek membuatnya sangat subyektif dalam menilai diri sendiri.

Mengatasi efek Dunning-Kruger

Untuk menjaga agar kita bebas dari bias ini, diperlukan kombinasi kesadaran diri dan kerendahan hati bahwa apa yang kita ketahui saat ini mungkin saja salah. Namun, langkah yang terdengar sederhana ini sesungguhnya sangat sulit untuk dilakukan.

Alih-alih sibuk memberikan penjelasan dan alasan, mampukah kita mengakui bahwa gaya bekerja kitalah yang tidak terstruktur? Apakah kita mengakui bahwa banyak pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan lebih cepat jadi tertunda?

Baca juga: Baper

Kebanyakan dari kita sulit untuk membuka kesadaran diri karena ini berarti mengakui bahwa kita salah. Kemudian, situasi ini juga menuntut kita harus berubah agar tidak terus-menerus melakukan kesalahan tersebut. Meskipun kita sering berharap ada perubahan dari rutinitas yang dapat menghasilkan kebosanan, sebenarnya manusia adalah makhluk kebiasaan yang enggan untuk berubah.

Fisikawan paling berpengaruh abad ke-20 yang disebut oleh Oppenheimer sebagai the most brilliant young physicist, Richard P Feynman, mengatakan, “As I get older, I realize being wrong isn’t a bad thing like they teach you in school. It is an opportunity to learn something.”

Baca juga: Memimpin Pertumbuhan

Sebagai individu, kita perlu sadar akan keterbatasan pengetahuan kita dan berusaha untuk mengembangkan diri terus. Bagi Feynman, lebih menarik untuk hidup dalam ketidaktahuan ketimbang berpegang pada jawaban yang mungkin saja salah. Mengakui bahwa selalu ada ruang untuk belajar akan membantu kita dalam mengembangkan sikap yang lebih rendah hati.

Bagi masyarakat dan organisasi, penting untuk mempromosikan budaya yang mendorong transparansi, kritik konstruktif, dan pertukaran pengetahuan yang terbuka. Sebab, menghargai keahlian dan mengakui kekurangan adalah langkah awal menuju kekuatan berpikir bebas bias.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com