JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim, nilai utang jatuh tempo pemerintah yang "menumpuk" dalam kurun waktu 3 tahun ke depan tidak akan membebani kas negara.
Sebagai informasi, berdasarkan data Kemenkeu, nilai utang pemerintah terdiri dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman yang bakal jatuh tempo hingga 3 tahun ke depan mencapai sekitar Rp 2.800 triliun.
Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan, dampak utang yang bakal jatuh tempo itu masih bisa dikontrol dan disesuaikan dengan kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Selama pasar keuangan kita baik, selama confidence dari masyarakat, dari pasar bagus, (utang jatuh tempo) itu sesuatu yang masih bisa kita manage," ujar dia, ditemui di Jakarta, Senin (10/6/2024).
Lebih lanjut Deni bilang, sebenarnya setiap tahun pemerintah rata-rata membayarkan Rp 600 triliun - Rp 700 triliun untuk utang yang jatuh tempo.
Sementara untuk periode 2025 - 2028, rata-rata nilai utang jatuh tempo pemerintah ialah sebesar Rp 800 triliun.
Deni menjelaskan, nilai utang jatuh tempo yang lebih besar itu disebabkan oleh pembiayaan yang dilakukan pemerintah pada periode pandemi Covid-19.
Pada periode tersebut, pemerintah melakukan penarikan utang yang lebih besar dengan melakukan skema bagi beban atau burden sharing bersama Bank Indonesia (BI).
Melalui skema tersebut, BI menyerap sebagian SBN yang diterbitkan oleh pemerintah, dan imbal hasil atau yield yang diserap, sebagian ditanggung oleh bank sentral.
"Jadi sebagian sekitar Rp 100 triliun (utang jatuh tempo per tahun hingga 2027) yang dimiliki oleh BI," kata Deni.
Oleh karenanya, Deni menyebutkan, beban pembayaran utang jatuh tempo beberapa tahun ke depan juga akan dibahas oleh BI nantinya.
"Supaya nanti bisa mendapatkan solusi terbaik, di satu sisi juga dalam rangka menjaga sustainable fiskal kita," ucap dia.
Baca juga: Utang Jatuh Tempo BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit Capai Rp 4,4 Triliun