Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

100 Hari Jokowi-Ma'ruf, Kebijakan Sektor Kelautan Masih Jadi Sorotan

JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, Selasa (28/1/2020) tepat hari ke-100 Presiden RI Joko Widodo menjabat jadi presiden periode keduanya.

Di periode kedua, Jokowi masih mencanangkan pembangunan infrastruktur meneruskan pembangunan di periode I.

Namun, membangun sumber daya manusia unggul dan berdaya saing jadi tujuan utamanya.

Bahkan, Presiden Jokowi mewanti-wanti para menteri di Kabinet Indonesia Maju untuk bergerak sesuai visi misi presiden dan wakil presiden alias tidak ada visi misi menteri. Tugas menteri hanyalah mengawal dan menindaklanjuti visi misi itu.

Sudah 100 hari Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat, berbagai tindak tanduk pejabat negara jadi sorotan.

Mulai dari kabinet kejutan yang akhirnya memboyong saingannya di pilpres, Prabowo Subianto jadi Menteri Pertahanan hingga berbagai kebijakan menteri yang menggegerkan publik.

Salah satu kebijakan yang menggegerkan datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, Edhy Prabowo. Edhy yang bekerja menggantikan Susi Pudjiastuti diimbau untuk membuat komunikasi antar pelaku di sektor kelautan dan perikanan kembali terjalin.

Hal itu membuat Edhy perlu mengkaji berbagai kebijakan. Puluhan kebijakan di era Susi dia kaji mulai dari benih lobster, penenggelaman kapal, hingga perikanan budidaya.

Tak jarang, kajian-kajian itu membuat publik bereaksi.

Berikut ini kebijakan sektor kelautan yang menjadi sorotan publik.

1. Benih lobster

Salah satu kebijakan Edhy yang menjadi kontroversi sejak akhir tahun lalu adalah soal benih lobster.

Dalam kajiannya, Edhy memasukkan opsi lobster perlu diekspor sembari menunggu mapannya budidaya di dalam negeri.

Pertimbangan Edhy untuk mengekspor benih lobster bukan tanpa alasan. Dia menemukan, benih lobster yang diimpor ke Vietnam dari Singapura sebanyak 80 persennya berasal dari Indonesia.

Hal itu membuat harga benih lobster kian melambung jadi Rp 139.000 per benih dari Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per benih.

"Coba kalau kita mengarahkan ini, me-manage ini dengan baik, kita atur rapih-rapih, kita buat aturan. Langsung dagangnya dari Indonesia ke Vietnam. Baru kemudian kita hitung berapa pajak yang harus mereka bayar," tutur Edhy saat itu.

Edhy mengaku, adanya kemungkinan mengedarkan kembali benih lobster akan menuai pro kontra.

Namun bila masalahnya soal keseimbangan ekosistem, dia berjanji akan mengambil jalan keluar yang tidak mengganggu ekosistem di alam.

Terlebih menurut Edhy, benih lobster yang hidup di laut hanya 1 persen. Sementara budidaya benih lobster bisa membuat 40-70 persen benih lobster hidup sesuai dengan jenis lobster.

"Makanya kita ingin kaji ini secara ilmiah. Karena lobster itu kalau tidak dipanen, toh tumbuhnya hanya 1 persen, sisanya mati. Kalau dibudidaya ada 40-70 persen tergantung jenis lobster. Makanya mungkin kami minta pengekspor masukkan di tempat benih-benih itu diambil," terangnya.

Namun, memasukkan opsi ekspor lobster membuat publik geram. Beberapa asosiasi nelayan dan kamar dagang menyarankan Edhy untuk membudidayakannya saja di dalam negeri tanpa perlu opsi ekspor.

Bahkan ekonom senior Faisal Basri mengaku tak habis pikir.

"Belum sebulan dua bulan kabinet (baru) ada, (larangan) ekspor benih lobster dicabut. Sudah gila itu. Namanya kan bibit, bibitnya kita jual ya gimana? Gila enggak? Itu aja," kata Faisal Basri di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti akhirnya buka suara melalui akun twitternya. Menolak keduanya, baik budidaya maupun ekspor, Susi lebih memilih lobster dibiarkan hidup di laut.

Dia pun menyebut manusia tidak boleh kufur dari nikmat Tuhan.

Dalam akun Twitter pribadinya, Susi menuturkan, budidaya lobster bakal menghabiskan plasma nutfah di alam. Dia bilang, budidaya nantinya akan berhenti jika bibit lobster itu telah habis di alam.

Apalagi, lobster belum bisa berkawin dan memijah di tempat budidaya maupun penangkaran. Lobster bertelur, melahirkan, hingga beranjak dewasa merupakan peran alam.

"Budidaya akan menghabiskan plasma nutfah/ bibit lobster di alam. Dan satu saat pembesaran lobster itupun akan berhenti karena bibit telah habis. Ingat Lobster belum bisa berkawin dan mijah di penangkaran. Semua bibit lobster yg diambil sd hari ini adlah dari alam," tulis Susi.

Hingga saat ini, kebijakan ekspor benih lobster belum menemui titik final.

2. Penenggelaman kapal

Selain eskpor benih lobster, kebijakan Susi yang jelas-jelas diubah adalah penenggelaman kapal. Sejak Edhy menjabat, tidak ada lagi kapal nelayan asing yang ditenggelamkan.

Edhy punya caranya sendiri untuk membuat pencuri ikan kapok sekaligus menciptakan nilai tambah dari kapal nelayan yang disita negara. Dia akan menghibahkan kapal-kapal bekas pencuri ikan itu ke pihak-pihak yang membutuhkan.

Dia mengaku, ada sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda), koperasi, kampus, dan para nelayan yang meminta hibahan kapal eks-asing tersebut.

"Memang ada juga kampus yang sudah minta untuk pelatihan dan bisa juga untuk pendidikan. Bisa juga untuk masyarakat pesisir, untuk koperasi," kata Edhy Prabowo di Jakarta, Senin (19/11/2019).

Namun, Edhy mengaku akan terus menenggelamkan kapal bila pencuri asing itu berniat kabur. Sebab, penenggelaman kapal merupakan upaya RI menunjukkan diri ke dunia atas ketegasannya.

"Penenggelaman kapal itu kan upaya menunjukkan ke dunia kalau kita tidak tidur. Kalau memang harus ditenggelamkan, kita juga siap menenggelamkan. Intinya kalau mereka ketahuan nyuri terus lari, ya kita tenggelamkan. Kenapa harus takut gitu lho," kata.

Tapi menurutnya, penenggelaman kapal bukan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah di sektor kelautan dan perikanan. Usai penenggelaman, mesti ada pemanfaatan dengan cara menghibahkan kapal-kapal pencuri ikan.

"Cuma jangan membuat jargon tenggelamkan adalah segala-galanya dalam mengatasi masalah negara ini, gitu lho. Saya ingin ini menjadi suatu efek jera. Tapi kan setelah efek jera harus ada pemanfaatan. Ini yang kita mau," tegasnya.

3. Cantrang

Sejak zaman Susi, cantrang yang telah dimodifikasi memang menjadi persoalan. Cantrang itu dinilai merusak lingkungan karena terlalu panjang dan terlalu lebar.

Jarak antar jaring-jaringnya pun terlalu kecil.

Akibatnya, banyak ikan kecil yang seharusnya bisa tumbuh justru terjaring cantrang tersebut. Waktu itu, Susi sempat menegaskan Indonesia tak bisa kaya jika nelayannya masih pakai cantrang modifikasian.

Sebab cantrang modifikasi kerap menggunakan gardan dengan panjang tambang paling pendek sekitar 1,8 hingga 2 kilometer.

Cantrang yang sebesar itu, kata Susi, otomatis mampu menangkap ikan hingga ke dasar laut sehingga mengakibatkan hasil perikanan tergerus habis. Apalagi, kedalaman Laut Pantura tidak lebih dari 100 meter.

"Katanya tidak sampai tanah (dasar laut). Ya tidak mungkin tidak sampai tanah! Pantura itu lautnya tidak ada yang lebih dari 100 meter. Kalau 2 kilometer cantrang masuk ke air, ya jelas sampai dasar," tegas Susi.

Untuk itu, Edhy Prabowo berencana mengkaji pelegalan alat tangkap cantrang. Sebab sejak dilarang pada era Susi, banyak nelayan yang mengaku kesulitan memperoleh ikan.

Edhy mencoba memikirkan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk menggantikan cantrang modifikasian.

4. Isu laut Natuna

Baru-baru ini, China mengklaim Perairan Natuna Utara masuk dalam wilayah 9 garis putus-putus (nine dash line) miliknya.

Selain mengiringi kapal nelayan menangkap ikan, kapal coast guard China juga mengancam akan menabrak kapal RI yang menangkap ikan di sana bila berpapasan.

Padahal jelas-jelas, wilayah perairan Natuna merupakan hak berdaulat RI. PBB pun telah mengaturnya dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Menindaklanjuti alat tangkap cantrang yang tengah dikajo Edhy Prabowo, pemerintah berencana mengirim kapal-kapal bercantrang ke Natuna.

Sebab laut Natuna lebih dalam dibandingkan laut Pantura yang memang dangkal.

Tujuannya, agar laut Natuna tidak sepi dari penangkap ikan asal Indonesia meski tiap harinya tempat itu menjadi lalu lalang kapal.

Sebanyak ratusan kapal bercantrang siap mengisi perairan Natuna. Bahkan jumlahnya masih lebih sedikit dari kuota 540 kapal besar di atas 100 GT yang ditetapkan pemerintah.

"Wilayah itu tak boleh kosong makanya kita nanti akan datangkan nelayan dari pantura," terang Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Namun lagi-lagi, Susi Pudjiastuti tidak setuju dengan usulan pemerintah. Dalam sebuah kesempatan saat dia datang ke kantor DPP PKS, dia menyatakan, hanya sebagian kecil Laut Natuna yang mempunyai kedalaman lebih dari 60 meter.

Kedalaman Laut Natuna yang berkisar 60 meter tentu akan mengikis seluruh sumber daya alam di dasar laut dengan cantrang sebesar 6 kilometer.

Akibatnya, ikan yang harusnya berkembang biak akan habis.

"Cantrang kan panjang talinya 6 kilo. Pasti besar. 60 meter kedalaman (Laut Natuna) ya habis juga. Saya pikir itu kurang bijaksana akhirnya menimbulkan protes juga dari masyarakat Natuna," kata Susi di Jakarta, Senin (20/1/2020).

Dia menuturkan, mengisi nelayan bercantrang ke perairan Natuna bukan sebuah solusi. Karena praktek penangkapan ikan ilegal tetap bisa berlanjut bila hanya mengisi nelayan banyak-banyak.

"Saya tidak setuju ada yang bilang, kalau mau aman, ya diisi nelayan banyak-banyak. Bukan itu. Kalau mereka mau ambil (ikan), ya (tetap bisa) ambil. Saya juga tidak setuju kalau dibilang tidak ada nelayan (di Natuna). Lha wong nelayan natuna yang teriak kalau ada ilegal fishing di sana," terang Susi.

5. Satgas 115

Masa kerja Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing) atau dikenal Satgas 115 di masa Susi Pudjiastuti telah berakhir.

Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengakui, keanggotaan Satgas 115 berakhir pada 31 Desember 2019 bila merujuk pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) RI.

Meski telah berakhir, belum ada tanda-tanda pasti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait perpanjangan tugas Satgas 115 atau justru dilebur ke dalam institusi masing-masing.

Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro mengatakan, perpanjangan masa tugas Satgas 115 tergantung dari kinerjanya sejak pertama kali dibentuk pada zaman Susi Pudjiastuti.

Adapun sejauh ini, Komisi IV DPR RI mendapat laporan bahwa Menteri KKP Edhy Prabowo masih mengkaji beberapa peraturan, salah satunya soal masa tugas Satgas 115.

"Waktu itu dia menyampaikan sedang evaluasi kegiatan 5 tahun ke belakang, termasuk juga Satgas 115. Apa dilanjutkan apa bagaimana? Apa akan kembali ke institusi atau perlu ada angkatan terpadu," kata Darori kepada Kompas.com, Jumat (3/1/2020).

Seperti diketahui, anggota Satgas 115 memang terdiri dari beberapa institusi, meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Nyatanya, Satgas 115 terdiri dari beberapa institusi yang memiliki anggaran masing-masing. Sedangkan Satgas 115 juga mendapat anggaran sehingga terjadi penumpukan anggaran yang tidak efisien.

"Ini (Satgas 115) sudah berjalan 5 tahun kenapa illegal fishing masih ada terus? Nah itu sedang dievaluasi. Yang kedua soal penggunaan anggarannya. Jangan sampai dobel masing-masing institusi," ucapnya.

Namun hingga saat ini, belum ada kepastian apapun dari KKP untuk memperpanjang masa tugasnya.

https://money.kompas.com/read/2020/01/28/110400026/100-hari-jokowi-ma-ruf-kebijakan-sektor-kelautan-masih-jadi-sorotan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke