Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Quo Vadis" Energi Baru dan Terbarukan Indonesia

Yang pasti pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT sudah masuk ke dalam tahap pembahasan legislasi pada pertengahan tahun ini. Beberapa pasal di dalamnya menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk mempercepat pengalihan energi seperti Pasal 7 yang menegaskan roadmap pembangunan EBT dengan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025.

Ada juga Pasal 6 ayat (7) yang menyatakan bahwa seluruh pembangkit listrik tenaga diesel wajib diganti menjadi pembangkit listrik EBT paling lambat pada tahun 2024.

Di sisi lain, persiapan transisi BUMN (badan usaha milik negara) terkait juga sudah berjalan. PLN sudah mempublikasikan Roadmap Transisi Energi Menuju Indonesia Net Zero 2060 dan sedang mempersiapkan early retirement untuk beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara.

Tentu perjalanan transisi ini bukanlah proses yang semudah membalikkan telapak tangan karena melibatkan asset write off di tingkat negara, implikasi sosial ketenagakerjaan, dan kapasitas ekonomi negara. Di sisi lainnya bukanlah hal yang tidak mungkin.

Sesuai data dari US Energy Information Administration, terdapat tujuh negara yang hampir 100 persen menggunakan EBT yaitu Islandia (100 persen), Paraguay (100 persen), Kosta Rika (99 persen), Norwegia (98,5 persen), Austria (80 persen), Brasil (75 persen), and Denmark (69,4 persen).

Jika contoh-contoh negara maju kita kesampingkan maka ada Brasil yang memiliki beberapa aspek terutama jumlah populasi yang lebih dekat ke Indonesia. Brasil berhasil mengalihkan sumber energi dari batu bara ke EBT campuran dan di sektor transportasi mengganti bahan bakar fosil menjadi etanol tebu selama kurang lebih berjangka 30 tahun.

Pemerintah menggunakan kombinasi berbagai program nasional, instrumen kebijakan dan sumber pendanaan. Negara berkembang lainnya di wilayah Amerika Tengah, yaitu Kosta Rika juga membutuhkan 20 tahun masa pengalihan 98 persen sumber energi ke hidro, angin, panas bumi dan biomassa.

Pemerintah negara itu telah mendeklarasikan komitmen politik transisi sejak tahun 2014 dan telah berkomitmen menjadi negara net zero tahun 2050.

Manfaat ekonomi dari alih sumber energi sangat menjanjikan. Studi Institute for Sustainable Futures (ISF), Universitas Teknologi Sydney, Australia tahun 2019 menunjukkan, jika sebuah negara berhasil mengalihkan sumber energi ke EBT maka biaya listrik akan turun sebesar 1 dolar AS setiap Kwh.

Jadi dalam jangka panjang, total efisiensi penggunaan EBT akan berbuah manis. Contohnya pemerintah Kosta Rika telah mengklaim efisiensi pembiayaan sebesar 500 juta dolar sejak menggunakan EBT selama 20 tahun terakhir.

Jika Indonesia dapat mengikuti jejak kesuksesan negara-negara berkembang ini, efisiensi anggaran dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pembangunan dan fasilitas publik lainnya yang sangat membutuhkan untuk adaptasi perubahan iklim.

Faktor kunci masa transisi

Dengan melihat praktik terbaik dari negara-negara di atas, tiga faktor kunci keberhasilan terletak pada dukungan pendanaan masa transisi, konsistensi komitmen politik negara, dan dukungan publik. Khusus untuk dukungan pendanaan, kemampuan pemerintah menggunakan ragam pendanaan (blended finance) yang bersumber dari anggaran sendiri ataupun pihak internasional menjadi motivasi bagi pengalihan energi terbarukan.

Konsistensi komitmen politik juga sangat penting karena transformasi sumber energi melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dengan insentif yang selama ini sudah terbangun dan berjalan stabil.

Karenanya, komitmen politik harus terlembagakan sehingga tidak bergantung pada sosok tetapi lebih kepada sistem yang lebih berkelanjutan agar estafet tidak terputus dan didisrupsi pergantian pejabat, personel aparatur sipil engara (ASN), dan segala bentuk siklus pergantian. Karena komitmen ini dipersiapkan untuk generasi mendatang.

Kesiapan pendanaan masa transisi menjadi kunci karena tanpa ini, transisi lebih lama dicapai dan ada potensi oversupply ketika semua sudah teralihkan.

Untuk mentranformasi sumber energi, dibutuhkan pendanaan yang sangat besar untuk mengatasi seluruh resiko peralihan. Selama ini argumen utama adalah biaya alih teknologi EBT yang masih mahal dan belum dapat bersaing dengan batu bara.

Namun argumen ini telah dibuktikan sebaliknya di negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya karena telah merencanakan pendanaan masa transisi. Pengembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau harus terus dibangun sehingga permintaan akan EBT akan terus menaikkan kurva ketersediaan.

PLN juga sebagai BUMN yang sudah mendeklarasi komitmen net zero, seyogyanya mendukung penggunaan EBT di tingkat rumah tangga. Dengan naiknya kurva kebutuhan dan ketersediaan maka harga akan semakin terjangkau.

Seperti contoh di sektor transportasi, beberapa produsen telah mengeluarkan produk-produk ramah lingkungan dengan sumber EBT. Dengan potensi resiko ancaman perubahan iklim yang semakin mendesak, jangan sampai EBT berakhir dengan perdebatan ayam dan telur, yang mana harus didahulukan.

Jawabannya sudah jelas dan lugas bahwa EBT tidak terhindarkan lagi. Karenanya kita harus bersama-sama mulai mendorong penggunaan EBT baik di tingkat nasional ataupun di rumah masing-masing yang niscaya akan menjadi sebuah gerakan transformasi sosial dan ekonomi untuk generasi mendatang Indonesia dan dunia.

https://money.kompas.com/read/2022/08/11/063000626/-quo-vadis-energi-baru-dan-terbarukan-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke