Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menjaga Inflasi Tetap Rendah pada 2024

Dalam RAPBN 2024, tingkat inflasi tahunan pada 2024 diasumsikan sebesar 2,8 persen. Angka ini lebih rendah dari infasi tahunan 2023 yang diperkirakan sebesar 3,1 persen.

Angka inflasi rendah memang sangat penting bagi perekonomian Indonesia karena ada dampak negatif jika terjadi inflasi tinggi.

Pertama, inflasi tinggi menurunkan daya beli bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan tetap sehingga berpotensi menaikkan tingkat kemiskinan.

Kedua, biasanya akan diikuti dengan menurunnya (terdepresiasinya) nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang akan memberatkan karena akan menaikkan harga barang-barang impor dan jumlah cicilan serta bunga utang luar negeri.

Ketiga, memperlebar kesenjangan sosial ekonomi karena dampak inflasi yang tinggi ada kenaikan kekayaan (pemilik tanah dan bangunan), tetapi ada yang turun (uang tunai).

Hal tersebut meningkatkan kesenjangan sosial ekonomi. Jika inflasi tinggi, maka kekayaan orang kaya akan meningkat (karena memegang kekayaan dalam berbagai bentuk dan ada yang meningkat nilainya karena inflasi), sedangkan orang miskin yang biasanya hanya punya uang tunai kekayaannya justru menurun.

Maka menjaga inflasi tetap rendah merupakan kebijakan yang baik.

Namun, menjaga inflasi tetap rendah pada 2024 bukan hal mudah. Ada beberapa hal yang berpotensi membuat inflasi lebih tinggi dari asumsi RAPBN 2024.

Pertama, pada 2024 adalah tahun politik di mana akan diselenggarakan pemilihan umum serentak (presiden-wapres, kepala daerah, serta anggota DPD, DPR dan DPRD).

Sisi positifnya memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lewat belanja untuk kepentingan pemilu. Dengan demikian, pemerintah berani mengasumsikan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi pada 2024, yaitu 5,2 persen, sedikit lebih tinggi dari perkiraan pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 5,1 persen.

Namun di sisi lain kegiatan dan belanja pemilu 2024 juga bisa memicu naiknya tingkat inflasi. Pasalnya, kenaikan permintaan keperluan untuk pemilu akan dimanfaatkan para pedagang untuk menaikkan harga barang-barangnya.

Faktor kedua, seperti dianggarkan dalam RAPBN 2024, gaji ASN pusat dan daerah, TNI-Polri akan naik 8 persen dan pensiunan naik 12 persen.

Seperti biasanya, kenaikan gaji untuk ASN pusat dan daerah, TNI-Polri selalu akan diikuti kenaikan harga barang-barang. Seringkali kenaikan harga barang melebihi kenaikan gaji ASN, TNI-Polri dan pensiunan. Hal ini akan menyebabkan tingkat inflasi lebih tinggi.

Faktor ketiga, masih terganggunya pasokan energi dan pangan akibat belum jelasnya kapan perang Ukraina dan Rusia selesai, yang menyebabkan masih akan terjadinya kenaikan harga energi dan pangan di dunia, termasuk di Indonesia.

Selama ini, Rusia dan Ukraina adalah pemasok bahan pangan dan energi yang besar di pasar dunia. Faktor kenaikan harga energi dan pangan akan menjadi pemicu kenaikan inflasi yang tinggi pada 2024.

Faktor keempat, masih terjadinya kemarau panjang akibat El Nino yang akan berlangsung sampai Februari 2024. Perubahan iklim yang makin nyata bisa berakibat gagal panen sehingga terjadi kenaikan harga pangan.

Faktor ini juga akan menyebabkan kemungkinan inflasi 2024 lebih tinggi dari perkiraan.

Kebijakan

Meskipun ada empat faktor yang bisa menyebabkan inflasi 2024 menjadi lebih tinggi dari asumsi RAPBN 2024, yaitu 2,8 persen, sebenarnya bukan hal mustahil kalau asumsi atau target inflasi tersebut bisa dicapai.

Pertama, Bank Indonesia (BI) sebagai insitusi yang bertugas menjaga inflasi rendah dan stabil dengan kebijakan moneternya tentu tetap harus konsisten merumuskan dan melaksanakannya.

BI memang punya jangkauan intervensi yang kuat selama inflasi karena fenomena moneter atau yang sering disebut inflasi inti (core inflation).

Namun, untuk inflasi seluruhnya (headline inflation) di mana ada kebijakan pemerintah, misal menaikkan tarif barang publik (adimistered proces) dan faktor yang tak dapat dikendalikan (force major) seperti bencana alam, BI tak bisa menangani sendiri dan harus bekerjasama dengan pihak lain.

Kedua, sinergi kebijakan antarlembaga untuk mencegah inflasi keseluruhan (headline inflation) seperti telah disinggung dalam kebijakan pertama sangat diperlukan. Selama ini memang sudah dilaksanakan, tetapi perlu ditingkatkan lagi.

Contoh sinergi tersebut adalah keberadaan Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPIP dan TPID) yang terdiri dari beberapa lembaga seperti BI, Pemerintah, dan aparat keamanan.

TPIP dan TPID bisa lebih diefektifkan terutama untuk mencegah perilaku spekulasi, yaitu penimbunan barang yang dilakukan oleh para spekulan.

Ulah spekulan seringkali menyebabkan kelangkaan barang yang menyebabkan kenaikan harga dan pada akhirnya akan menaikkan inflasi.

Ketiga, khusus untuk inflasi pangan atau volatile foods memang butuh kebijakan khusus. BI dan pemerintah selama ini sudah meluncurkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi inflasi pangan, antara lain Gerakan Nasional Pengendalian Pangan (GNPIP). Progam GNPIP perlu terus dilanjutkan dan diintensifkan.

Sementara Pemerintah mengusulkan alokasi Rp 108,8 triliun untuk ketahanan pangan demi menjaga kestabilan harga, meningkatkan hasil pertanian, dan lebih jauh mengembangkan program food estate. Namun proyek tersebut menimbulkan kontroversi.

Semoga program food estate bisa diwujudkan dan selesai sehingga bisa ikut menambah pasokan pangan sehingga harga pangan stabil dan tidak menimbulkan inflasi pangan.

https://money.kompas.com/read/2023/08/24/080928026/menjaga-inflasi-tetap-rendah-pada-2024

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke