Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemangkasan Jumlah Bandara Internasional Dinilai Tepat, tetapi Perlu Kajian yang Mendalam

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurangan jumlah bandara internasional dari 34 menjadi 17 bandara dinilai sudah tepat. Namun, penghapusan status internasional sebuah bandara harus dikaji secara mendalam.

Pengamat transportasi Bambang Haryo Soekartono mengatakan, pembagian status bandara internasional dan domestik bertujuan untuk melindungi kedaulatan bangsa sekaligus menghidupkan wilayah sekitar bandara.

Sebab, berdasarkan prinsip cabotage, keberadaan bandara internasional akan menjadi bandara utama (hub) yang akan didukung oleh bandara pendukung (scope) dan transportasi darat lainnya.

"Ini penting dilakukan karena untuk memastikan pihak asing tidak dapat seenaknya memasuki wilayah Indonesia. Mereka hanya bisa masuk lewat bandara utama dan untuk masuk ke wilayah lebih kecil, mereka harus memanfaatkan transportasi lokal. Tidak bisa mereka masuk dengan transportasi milik mereka sendiri," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (2/5/2024).

Namun, lanjut dia, dalam penentuan status bandara perlu dilakukan kajian yang mendalam. Pasalnya, dalam pengembangan suatu bandara juga harus memperhitungkan dampaknya ke perekonomian wilayah sekitar dan pendapatan negara.

Dia mencontohkan, Bandara Changi di Singapura merupakan bandara transit tapi pemerintah Singapura mampu menjadikan bandara tersebut sebagai etalase dari negaranya sehingga dapat menarik wisatawan mancanegara.

Ada juga Bandara Charles de Gaulle di Perancis yang menjadi bandara transit skala internasional. Bandara itu dijadikan wadah promosi bagi Perancis.

Alhasil, Perancis menjadi negara yang bisa mendatangkan wisatawan mancanegara terbesar di dunia. Adapun jumlah wisatawan yang datang ke Perancis sempat menembus 250 juta orang per tahun.

"Bayangkan jika Provinsi Aceh itu bisa dijadikan etalase Indonesia dan dapat menjadi bandara transit internasional dikarenakan posisinya yang sangat strategis sehingga bisa bersaing dengan bandara Singapura, Malaysia, dan Thailand," ucapnya.

Dia menambahkan, pemerintah seharusnya tidak menjadikan bandara untuk mencari keuntungan. Sebab, keuntungan juga bisa dikejar melalui dampak dari pembangunan bandara tersebut yang bisa memberikan dampak kemajuan ekonomi di wilayah itu.


Salah satunya, pembangunan bandara dapat menarik investasi, menggeliatkan perdagangan, kegiatan usaha, hingga mendatangkan wisatawan.

"Devisa negara yang masuk itulah yang dikejar untuk menjadi keuntungan dari negara kita, bukan keuntungan yang dikejar dari bandaranya," jelasnya.

Oleh karenanya, dia menegaskan, pemerintah harus benar-benar mengkaji status bandara internasional berdasarkan potensi yang ada di wilayah tersebut apakah berskala internasional atau tidak dan bukan hanya atas dasar trafik seperti yang dilakukan saat ini.

"Kalau memang memiliki potensi skala internasional seperti Aceh ya jangan dimatikan potensinya. Karena Aceh mempunyai potensi sumber daya alam, gas, minyak bumi, emas, batubara dan lain-lain yang berskala internasional," tuturnya.

Sebagai informasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mencabut status 17 bandara internasional di Indonesia menjadi bandara domestik.

Dengan demikian, dari semula terdapat 34 bandara internasional, kini menjadi tersisa 17 bandara internasional.

Keputusan ini berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 (KM 31/2024) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada tanggal 2 April 2024.

https://money.kompas.com/read/2024/05/03/061553226/pemangkasan-jumlah-bandara-internasional-dinilai-tepat-tetapi-perlu-kajian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke