Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pedagang Tradisional Menyusut, Revisi Perpres 112/2007

Kompas.com - 10/03/2009, 20:58 WIB

JAKARTA, SELASA- Federasi Organisasi Pedagang Pasar Tradisional atau Foppi menilai Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, banyak mengandung kelemahan.

Oleh sebab itu, pemerintah diminta segera merevisi ketentuan tersebut agar dapat berpihak dan mengangkat harkat serta martabat para pedagang tradisional yang kondisinya kini terpuruk. Dilaporkan, jumlah pedagang yang sebelumnya mencapai 13.450 orang kini menyusut setiap tahunnya hingga 8,5 persen secara nasional akibat penerapan perpres tersebut.   

Hal itu disampaikan Ketua Umum Foppi Sujianto, yang didamping Ketua Penasehat Foppi Salahuddin Wahid, dalam keterangan pers, seusai bertemu dengan Wapres Kalla di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (9/3) sore.

"Kunci kelemahan itu ada pada Perpres 112 Tahun 2007, yang memberikan mandat sangat besar kepada pemerintah daerah melalui otonomi daerah. Oleh karena itu, daerah menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) terhadap peritel besar, dengan cara lebih mengutamakan peritel besar daripada pedagang pasar," ujar Sujianto.

Menurut Sujianto, Perpres 112 Tahun 2007 juga tidak mengatur jarak atau zonning antar pasar modern dengan pasar tradisional. "Ini karena pengaturan diserahkan kepada pemerintah daerah. Karena pengaturan jarak antara pasar modern dan tradisional tidak ada lagi, maka akibatnya aspek sosial dan tata ruang tidak diperhatikan lagi," tambah Sujianto.

Diakui Sujianto, cara memarginalisasikan pedagang tradisional adalah dengan cara membakar lokasi pasar untuk kemudian diremajakan lagi. "Pada saat diremajakan, harga kiosnya menjadi sangat tidak terjangkau bagi kami. Seperti di Blok A Pasar Tanang Abang, harga kiosnya setelah diremajakan menjadi Rp 500 juta. Di pasar Mayestik, Kebayoran Baru, harga per meter perseginya menjadi Rp 50 juta. Di Blok M Square juga demikian. Per kiosnya menjadi Rp 60 juta per meter persegi," papar Sujianto.

Sebaliknya, lanjut Sujianto, pasar modern tumbuh sampai 31,4 persen setiap tahunnya. "Supermarket tumbuh 50 persen per tahun selama periode 2004-2007 lalu. Hipermarket juga tumbuh sampai 70 persen pada periode yang sama," kata Sujianto.

Dikatakan Salahuddin, "Terkait ini, kami sudah melaporkan kepada Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan pembelian lahan oleh pengembang pasar dan dijual kembali kepada pedagang dengan sangat mahal. Namun, tidak ada kejelasan. Oleh karena itu, kami datang kepada Wapres Kalla."

Menurut Salahuddin, ia membandingkan dengan harga lahan di apartemen di kawasan Kuningan, yang bisa dibeli dengan harga Rp 20 juta per meter. Namun, dengan cara strata title sehingga bisa dimiliki dan dijadikan agunan. Akan tetapi, lahan bagi pedagang kecil hanya bisa disewakan saja dan sangat mahal sekali.

Ditanya sikap Wapres Kalla mengenai nasib pedagang tradisional, Salahuddin mengatakan Wapres Kalla menegaskan perlakuan kepada pedagang tradisional tidak boleh seperti itu. "Pedagang pasar harus dilibatkan dalam setiap peremajaan. Tidak bisa ditinggalkan begitu saja," kata Salahuddin, mengutip Waprers Kalla.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com