Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari "Batu" hingga "Sabun"

Kompas.com - 13/12/2009, 03:32 WIB

Fitrisia Martisasi

Letaknya di pinggiran kota San Sebastian, salah satu kota utama di wilayah Basque Country, Spanyol. Untuk mencapainya, Anda harus masuk ke jalan raya nasional A8 dan mengarah ke desa Astigarraga/Hernani. Setelah 4 kilometer, jalanan mulai mendaki bukit.

Sesampai di puncak bukit, ambil jalan mengarah ke Orereta/Errenteria sejauh 3 kilometer sebelum akhirnya Anda menemukan petunjuk mengarah ke Mugaritz.

Bagi pencinta gastronomi, nama Mugaritz tidaklah asing, sama lekatnya dengan nama sang pemilik, Andoni Luis Aduriz (38), koki papan atas Spanyol yang telah mengantongi dua bintang Michelin. Karena itu, kendati harus menghabiskan waktu 30 menit perjalanan—sebagian di antaranya berada di tengah ladang pertanian yang sepi dan gelap pada malam hari—serta berjam- jam untuk menyelesaikan rangkaian makan malam, restoran itu hampir selalu penuh.

Udara malam 3 derajat celsius pada akhir November lalu terasa menusuk saat kami, enam wartawan Asia Tenggara, menginjakkan kaki di halaman luas Mugaritz. Dua pemusik memainkan instrumen musik semacam kolintang di bawah pohon besar setiap kali pengunjung tiba. Namun, ruang tunggu—berupa pondok kayu kecil—ternyata lebih menarik untuk mencari kehangatan.

”Silakan dicoba batunya,” ujar seorang pelayan setelah meletakkan mangkuk kecil dengan ”pasir dan batu sebesar telur puyuh”. Mata kami berpandangan. ”Batu” itu terasa hangat dalam genggaman, begitu juga dengan pasir halus hitam. ”Silakan makan dan menebak,” lanjut sang pelayan tersenyum melihat keraguan kami.

Begitu ”batu” digigit, rahasia terbuka: kentang kukus yang dibalut dengan semacam tanah liat putih. ”Pasirnya” terbuat dari remah-remah halus roti kering yang dihitamkan. Eksplorasi makanan rupanya telah dimulai, dengan sebuah canda ala Andoni.

Ringan mengalir

Dari ruang tunggu, kami kemudian beralih ke gedung utama, lokasi Restoran Mugaritz. Ruang luas tanpa sekat yang seluruhnya dikelilingi kaca lebar setinggi pinggang menghadap ke taman terasa lega. Dekorasi ruangan bertumpukan pada ranting kayu dipadu dengan sendok garpu menggelantung. Tidak mendominasi, tetapi kehadirannya tetap terasa.

Seperti juga dekorasi ruangannya, apa yang ditawarkan Andoni lewat menu Mugaritz tidak saling mendominasi. Semua serba ringan, mengalir, dan keluar dari pakem lama berupa urutan hidangan pembuka, makanan utama, dan hidangan penutup dalam ukuran cukup besar.

Apa yang disebut sebagai salad, misalnya, bukanlah tumpukan daun hijau. Yang hadir dalam sebuah piring putih malah mirip kembang tahu dan susu. Ternyata ia memilih sayuran lokal Spanyol bernama cadoon. Warnanya putih, agak keras seperti bengkuang, ditutup dengan lembaran ”kembang tahu” yang terbuat dari susu, dan disiram dengan air chuva serta minyak bawang putih. Air chuva terbuat dari kacang chuva yang merupakan produksi khas wilayah Alicante di bagian tenggara Spanyol.

Berikutnya daging panggang berbentuk kubus berukuran 3 cm x 3 cm x 3 cm yang diambil dari bagian tulang belakang sapi. Daging terasa lembut, lemak tak terasa, karena Andoni memasaknya dengan suhu amat rendah selama 12 jam.

Menu selanjutnya membuat kami salah menduga. Sepintas ia mirip sayatan daging tipis yang ditabur dengan parutan keju Idiazabal dan sedikit daun mache frances bja. Ternyata, makanan ini terbuat dari semangka yang dikeringkan dan diasap. Dalam kecapan lidah, teksturnya terasa lebih seperti paprika, begitu juga rasa manisnya.

Sesudah itu muncul ravioli berisi suwiran daging kepiting dan potongan chestnuts yang memberikan paduan antara lembut dan kejutan kerasnya chestnuts. Kuahnya yang segar dibuat dari campuran jeruk lemon, jahe, dan serai.

Lima jam

Secara keseluruhan, rangkaian hidangan yang disajikan mencapai 12 menu. Ada kokotxa de bacalao yang merupakan bagian bawah leher ikan kod, yang terasa lembut, tetapi menyisakan kekenyalan. Ada juga telur ikan yang didampingkan dengan semacam ubi kayu; lobster panggang dengan kuah seafood dan rebusan tangkai bunga lili; foie gras alias hati angsa dengan taburan daun labu dan majado; ikan sole; serta bebek panggang yang kulitnya amat kering.

Sebagai hidangan penutup, Andoni menjamu kami dengan dua menu. Yang pertama adalah es krim dengan manisan, dedaunan, termasuk kelopak bunga. Yang kedua dan terakhir adalah semacam batang cokelat—terbuat dari campuran gandum dan madu—yang dibentuk mirip sabun, bertuliskan ”Mugaritz”, lengkap dengan buihnya.

Perlu waktu hampir lima jam—dimulai dari pukul 21.00— untuk menyelesaikan deretan hidangan makan malam kami kali itu. Budaya bangsa Spanyol yang memulai waktu makan malam jauh lebih larut memang tak terlalu dikenal orang Asia. Ini terbukti saat kami meninggalkan Mugaritz pukul 02.30, tamu-tamu lokal yang datang lebih malam dari kami masih tampak segar dan bersemangat menyantap makanan, sementara kami segera menyenderkan tubuh ke jok taksi dan terlelap sampai ke hotel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com