Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gas Donggi-Senoro Ekspor

Kompas.com - 22/05/2010, 04:22 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah memberikan sinyal bahwa pilihan kebijakan terbaik dalam menggunakan gas yang diproduksi dari kawasan Donggi-Senoro, Provinsi Sulawesi Tengah, adalah dengan mengekspornya sebanyak 70 persen dan hanya 30 persen sisanya untuk dalam negeri.

Komposisi ini dinilai sanggup memenuhi seluruh kebutuhan daerah Sulawesi Tengah, mulai dari gas untuk kebutuhan pabrik pupuk hingga pembangkit listrik tenaga gas.

”Saya kira, komposisi 70 persen untuk ekspor dan 30 persen untuk konsumsi dalam negeri adalah yang paling tepat. Ini cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (21/5).

Menurut Hatta, pemerintah menegaskan bahwa harga jual yang akan diberlakukan untuk gas Donggi-Senoro disesuaikan dengan pergerakan harga jual minyak mentah Indonesia (ICP).

Pada saat harga minyak mentah dunia ada di level 80 dollar AS, harga gas yang belum diolah menjadi LNG ada di kisaran 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU).

Dengan demikian, standar penetapan harga jual gas Donggi-Senoro akan berbeda jauh dengan penetapan harga gas Tangguh yang dijual ke China.

Harga jual gas Tangguh juga dipatok pada harga minyak mentah, tetapi dibatasi maksimal 38 dollar AS per barrel. Pada posisi harga minyak sebesar itu harga jual gasnya maksimal 3,36 dollar AS per MMBTU.

”Jika gas yang baru dikeluarkan dari sumur itu diolah menjadi LNG, harganya akan jauh lebih tinggi. Jadi, ini sama sekali berbeda dengan gas yang dijual ke China itu,” ujar Hatta.

Sebelumnya, pengamat pertambangan Kurtubi menyebutkan, komposisi 70 persen untuk ekspor dan 30 persen untuk domestik hanya bisa dilakukan jika gas sedang tinggi. Sebagai gambaran, pada posisi harga jual minyak mentah di pasar dunia 80 dollar AS per barrel, harga jual LNG bisa 13,3 dollar AS per MMBTU.

Kebijakan nasional

Hatta menegaskan, Indonesia memiliki stok gas yang berlimpah, salah satunya kemungkinan akan terjadi kelebihan pasokan (oversupplied) dari Blok Mahakam. Masalahnya, Indonesia tidak punya infrastruktur yang bisa mendistribusikan gas-gas tersebut ke daerah-daerah yang membutuhkan gas paling tinggi. Kebijakan sebelumnya terlambat mengantisipasi tingginya permintaan gas di dalam negeri.

”Dari neraca gas menunjukkan bahwa stok itu berlimpah. Yang terpenting adalah pembangunan floating LNG receiving terminal (terminal penampung dan pengolah gas terapung),” ujarnya.

Floating LNG receiving terminal harus terwujud dengan pelaksana inti PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara atau PGN. Pertamina dan PGN pada 14 April 2010 membentuk perusahaan patungan, PT Nusantara Regas, untuk membangun LNG Receiving Terminal Jawa Barat.

Pabrik pupuk

Hatta mengatakan, beberapa faktor akan dijadikan pemerintah sebagai dasar dari pengambilan keputusan pemanfaatan gas Donggi-Senoro, antara lain pembangunan pabrik pupuk di Senoro. Keberadaan pabrik pupuk ini menjadi salah satu dasar bahwa gas yang dihasilkan dari Donggi-Senoro akan digunakan untuk konsumsi dalam negeri.

”Pabrik pupuk ini usulan bottom up (dari daerah). Dengan adanya pabrik ini, kebijakan penggunaan gas Donggi-Senoro yang dikombinasikan antara ekspor dan dalam negeri adalah penting, tuturnya.

Pabrik pupuk di Senoro merupakan salah satu program yang ditetapkan pemerintah dalam revitalisasi industri pupuk tahap kedua. Kapasitas pabrik ini diperkirakan 1,155 juta ton per tahun. Pabrik ini butuh 91 juta kaki kubik gas per hari. (OIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com