Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Kereta Api Berubah

Kompas.com - 04/10/2010, 10:09 WIB

Perubahan budaya

Tekad ”saatnya untuk berubah” tidak selayaknya dipersempit dan dimengerti dari sudut ”anatomi organisasi” saja, katakanlah dari sudut struktur organisasi, struktur aset, serta perangkat keras organisasi lainnya (Bartlett dkk: 2003). Perubahan dalam perkeretaapian Indonesia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh adanya penanggung jawab khusus jalur Jakarta-Bogor dalam struktur organisasi, sudah dibangunnya rel ganda Jakarta-Cirebon, Kutowinangun-Solo, Purwokerto-Paguyangan, dipasangnya toilet yang ramah lingkungan di KA Argo Lawu. Semua itu penting, tetapi tidak akan efektif apabila tidak disertai perubahan pada wilayah ”fisiologi” dan ”psikologi (mentalitas)”.

Perubahan fisiologis menyangkut bagaimana interaksi antarbagian struktur berjalan, bagaimana kesalingtergantungan kinerja disadari dan dijalankan, bagaimana proses manajemen mengalir. Dewasa ini perjalanan dari arah Jawa Tengah ke arah Jakarta boleh dikatakan lancar dan tepat waktu. Namun, perjalanan agak terhambat mulai dari Tambun, apalagi sesudah Jatinegara, dan semakin parah dalam menempuh jarak Manggarai-Gambir.

Dilihat dari sudut Kementerian Perhubungan, agaknya kesalingtergantungan antara jadwal Kereta Api Prameks (Yogyakarta-Solo pergi pulang) dan jam-jam padat lapangan terbang Adisucipto sudah disadari benar. Stasiun Maguwo dekat Bandara Adisucipto, yang sebelum gempa Yogyakarta 2006 merupakan stasiun amat kecil, kini telah menjadi stasiun kereta api di Indonesia yang paling dapat mengingatkan kita pada Changi (Singapura) dan lebih-lebih Schiphol (Amsterdam) atau Zaventem (Brussel).

Maka, yang kini mendesak ialah perubahan mentalitas, perubahan budaya organisasi, perubahan pada dataran ”psikologis” organisasi perkeretaapian di Indonesia. Perubahan ini menyangkut nilai-nilai dan norma-norma perilaku pada setiap individu, mulai dari puncak organisasi hingga kondektur, masinis, pramugara dan pramugari, penjual karcis, polisi kereta api, pengatur perjalanan, penjaga lintasan, dan sebagainya.

Namun, perubahan budaya haruslah dimulai dari puncak karena mereka itulah yang perilakunya menjadi anutan dan teladan. Apa yang boleh dan tidak boleh di- lakukan dipelajari para anak buah dari atasan mereka. Atasan harus ”mementaskan” nilai dan budaya organisasi. There’s no business that’s not a show business.

Alois A Nugroho Guru Besar Filsafat/Etika di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atma Jaya, Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com