Beberapa penelitian menunjukkan, keengganan para petani menanam tebu bukan hanya karena petani tidak tahu pasti tingkat rendemen tebu yang sebenarnya (meskipun secara formal disebutkan bahwa petani melalui wakilnya dapat memeriksa tingkat rendemen). Namun, para petani mengetahui adanya ”permainan” tingkat rendemen , terutama bila PG berhadapan dengan pengusaha tebu bebas (cukong).
Ada kesan PG memberi tingkat rendemen yang wajar, bahkan lebih tinggi kepada cukong. Sebaliknya, memberi tingkat rendemen rendah untuk tebu petani. Jadi, krisis kepercayaan para petani kepada pabrik gula telah berlangsung lama.
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan inefisiensi industri pergulaan nasional terutama di lingkungan PG. Pertama, rendahnya keandalan (profesionality) sumber daya manusia pengelola PG. Kedua, menuanya infrastruksur pabrikasi PG. Ketiga, kurangnya jaringan komuni-
Pertanyannya, dari mana kita harus memulainya? Tentunya bukan dengan cara proteksi pasar atau dengan proteksi kewajiban petani menanam tebu dengan menggunakan kekuasaan. Cara-cara seperti ini tak akan pernah dapat mendewasakan industri pergulaan nasional.
PT Telkom bisa dijadikan contoh. Dulu kebesaran PT Telkom diramalkan tinggal kenangan, tapi setelah pasar dibuka ternyata mampu bersaing di pasar global.
Inefi
Maka, kesulitan struktural jangan dijadikan kambing hitam dan nama BUMN jangan jadi beban. Konsumen dan para petani punya pilihan, tentunya pengelola PG juga punya pilihan: tetap bertahan di PG atau tidak? Jangan sampai peribahasa ”ada gula ada semut” dipelesetkan orang menjadi ”ada gula banyak tikus”.
M SAID SUTOMO Ketua Yayasan LembagaPerlindungan Konsumen (YLPK) Jatim