Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manokwari Rudy Kabes mengatakan, serangan hama terjadi sejak tahun 2007. ”Serangan merata di kebun kakao yang berada di tujuh distrik di Manokwari, yaitu Manokwari Utara, Manokwari Selatan, Prafi, Oransbari, Ransiki, Masni, dan Sideh,” katanya, Minggu (28/11).
Akibatnya, produksi kakao yang biasanya bisa mencapai 1.000-1.500 kilogram menjadi tinggal 300-600 kg per hektar per tahun. Areal kebun kakao milik rakyat pun berkurang dari 6.000 hektar (sebelum 2007) menjadi tersisa sekitar 4.500 ha.
”Kerusakan kakao akibat hama ini membuat petani frustrasi sehingga tak sedikit yang mengganti tanaman kakaonya dengan tanaman lain,” kata Rudy menjelaskan.
Hingga kini pemerintah belum menemukan cara yang efektif untuk memberantas hama tersebut. Berbagai cara telah disosialisasikan kepada petani untuk memberantas hama penggerek buah kakao itu, seperti pemberian pestisida dan menjaga sanitasi kebunnya, tetapi masalah tak juga terpecahkan.
Potensi kakao di Manokwari sebetulnya sangat besar. Lahan yang berpotensi ditanami sekitar 8.000 ha. Harga kakao pun terus meningkat. Jika tahun 2008 harga kakao sekitar Rp 10.000 per kg, sekarang umumnya di atas Rp 14.000 per kg.
Kakao di Manokwari juga pernah menjadi tanaman favorit warga, terutama saat krisis moneter terjadi tahun 1998. Saat itu harga kakao mencapai lebih dari Rp 20.000 per kg.
”Banyak petani asal Jawa yang naik (pergi) haji karena memperoleh keuntungan berlipat masa itu,” ujar Rudy.
Salah satu petani kakao di Distrik Prafi, Nursalim (50), mengatakan, dari 1.000 batang kakao yang dimilikinya, hanya sekitar 50 persen yang masih baik produksinya. Sementara sisanya rusak diserang hama. ”Selain hama penggerek buah kakao, tikus dan ulat juga jadi masalah,” katanya.
Akibatnya, produksi kakao terus merosot, terutama dalam setahun terakhir, Nursalim mengaku hanya bisa memperoleh hasil panen 1 kuintal per bulan. ”Sebelumnya bisa 4 kuintal per bulan,” ujarnya.
Fabiola Saiba (30), warga Prafi dari suku Atam, mengeluhkan, dia tidak pernah memperoleh bantuan pupuk, obat-obatan, atau sosialisasi tentang cara merawat tanaman yang menghasilkan kakao terbaik. Akhirnya, dia membiarkan kakao yang ditanamnya tanpa diberi pupuk.
Menurut seorang petugas penyuluh lapangan pertanian di Prafi, Charko, selama ini bantuan pupuk dari pemerintah diprioritaskan untuk meningkatkan produksi padi.