Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Politik Cabai ala Warteg

Kompas.com - 07/01/2011, 14:30 WIB

KOMPAS.com — Suasana sebuah warung tegal di sebuah jalan kecil di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, pagi tadi tampak ramai. Seperti biasa, sejumlah warga sedang makan pagi. Suasananya riuh.

"Sambalnya kok enggak pedas sih, Mbak?" kata seorang pembeli sambil duduk mengangkat kaki di bangku warung.

"Wong lombok lagi mahal kok minta sambal pedas," kata pembeli lain sambil tertawa. Yang lain pun menimpali, "Sambele bae dicampur tomat kok, ya ora pedes." Si Mbak penjaga warung pun hanya mesem-mesem.

"Lha kiye lomboke kok langka. Mangan tahu goreng tanpa lombok ya ora maen," kata pengunjung lain dengan logat Tegal yang sangat kental.

Perbincangan seperti itu sekarang umum terjadi di warung-warung tegal atau warung nasi lainnya di Jakarta. Maklum, harga cabai saat ini memang sangat mahal. Para pemilik warung harus pintar mencari akal agar tetap bisa mendapat keuntungan, sedangkan pelanggan juga tak harus tercekik lehernya karena harganya dimahalkan.

Mas Uuk, salah satu pengelola warung nasi di Palmerah, menyatakan, harga cabai yang melambung sampai Rp 100.000 per kg memang menyulitkan pedagang. Bagaimana tidak, selama ini sambal dan cabai hanyalah menu tambahan (optional) yang tidak diberi harga khusus. Mau mengambil sambal bersendok-sendok atau menggigit cabai sampai belasan biji pun, pelanggan tidak akan di-charge.

"Tapi sekarang saya terpaksa memberi harga, Pak. Kalau nambah sambal banyak-banyak ya saya naikkan harganya Rp 1.000 saat menghitung," kata Uuk dalam perbincangan santai dengan Kompas.com, Kamis (6/1/2011) kemarin.

Dia kemudian menuturkan, sebelum harga cabai naik sampai Rp 100.000 per kg, sehari dia bisa belanja 2 kg. Kira-kira sehari Rp 20.000-Rp 30.000. "Semahal-mahalnya paling Rp 50.000," katanya.

Sekarang, dia terpaksa mengurangi pembelian cabai menjadi 1 kg saja sehari. "Kalau 2 kilo, mosok untuk cabai saja Rp 200.000? Terus saya dapat apa?" katanya.

Dalam hitungannya, untuk membeli cabai 1 kg saja sebenarnya sudah berat karena itu berarti keuntungannya sudah terkurangi sekitar Rp 50.000 sehari. Kalau dari omzetnya yang sedikit kurang dari Rp 1 juta sehari dia biasanya bisa mendapat sisa bersih Rp 200.000-Rp 300.000, artinya kini pendapatannya tinggal Rp 150.000-Rp 250.000. Kalau harus membeli 2 kg cabai, artinya keuntungannya harus terkurangi sekitar Rp 150.000.

"Mau gimana lagi, Pak. Memang kondisinya lagi begini. Kalau kemarin bisa nyimpan, ya sekarang tidak dulu," katanya pasrah menghadapi mahalnya harga cabai.

Men-charge harga sambal hanya salah satu trik yang dilakukan oleh pedagang untuk tetap bisa bertahan atau menekan kerugian. Cara lain adalah dengan mengurangi penggunaan cabai pada sambal. Supaya sambal yang tersaji tetap banyak dan bisa memenuhi selera pembeli, mereka biasa mencampur sambalnya dengan tomat goreng.

"Jadilah sambal tomat yang tak kalah enak," kata penjaga warung nasi di Bintara, Bekasi Barat. Harga tomat memang jauh di bawah harga cabai sekarang ini.

Kepada pembeli, para pedagang juga jujur mengatakan kalau cabai lagi mahal sehingga harap dimaklumni kalau sambalnya kurang pedas. Kenapa tidak pakai sambal kemasan saja? "Rasanya kurang mantep. Pembeli kurang suka," katanya.

Cara lain untuk mengurangi penggunaan cabai adalah dengan tidak menyediakan cabai mentah di meja pembeli. Kalaupun menyediakan, jumlahnya sedikit saja dan sudah jelek-jelek. "Habis harga cabai rawit memang gila. Kalau kita beli sedikit, dihitungnya bijian. Satu biji dihargai Rp 1.000," kata Uuk.

Maka, harap maklumlah kalau makan di warung-warung nasi sekarang ini serba tidak pedas. Para pedagang warung nasi memang terpaksa menerapkan politik cabai untuk bisa bertahan hidup. Atau, kalau mau, cabai dan sambal dihargai khusus sehingga biaya makan Anda naik?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com