Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang untuk Dapat Tiket KA

Kompas.com - 01/02/2011, 11:01 WIB

Sepasang suami istri yang bekerja di Shanghai, China, menyatakan, tahun ini mereka akan pulang kampung untuk merayakan Imlek 2562 bersama anak-anaknya di Chongqing. Tekad pasangan ini sangat besar, mengingat sudah lama sekali mereka tidak bisa pulang ke Chongqing karena sulit sekali mendapatkan tiket kereta api.

Semula, Xiong Liangshan, dan istrinya, yang bekerja sebagai teknisi listrik dan leding sejak tahun 1989, bisa pulang ke kampungnya naik kapal uap. Namun, sejak tahun 1998, kapal uap itu tidak lagi beroperasi. Satu-satunya alternatif pengganti hanya kereta api. Dari tahun 1998 hingga 2010, mereka hanya sekali mendapat kesempatan untuk pulang kampung, yakni tahun 2002. Itu pun setelah dua hari mereka mengantre tiket kereta api (KA) di stasiun.

Kesulitan mendapatkan tiket KA menjadi peristiwa yang umum setiap tahun, terutama menjelang Imlek. Penduduk yang mudik ke kampung halaman berjumlah 230-an juta orang sehingga sulit sekali mendapatkan transportasi umum yang jumlahnya terbatas.

Kesulitan mendapatkan tiket KA membuat banyak orang mulai menjalankan upaya-upaya cerdik untuk mendapatkannya. Misalnya, seorang mahasiswa memakai maneken perempuan untuk antre tiket kereta. Ia mengambil cara itu karena tidak tahan harus berjam-jam berdiri mengantre tiket di udara dengan suhu di bawah nol derajat celsius.

Ada pula penumpang yang mencoba memakai kartu pelajar palsu ketika membeli tiket agar mendapatkan potongan harga khusus pelajar.

Melihat kesulitan yang dihadapi masyarakat untuk mendapatkan tiket, Pemerintah China kini banyak memperbaiki sistem transportasi, terutama untuk angkutan KA. Apalagi pada Imlek 2011 diprediksi 230-an juta orang naik KA untuk mudik. Jumlah itu naik 12,5 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut Wang Zhiguo, Wakil Menteri Kereta Api, seperti dikutip dari China Daily, ada tambahan 293 kereta untuk keperluan Imlek. Dalam lima tahun terakhir, ada pertambahan sepanjang 15.000 kilometer rel KA dan 290 stasiun di seluruh China. Untuk pemesanan tiket, penumpang bisa melakukannya dengan antre di loket. Selain itu, ada 480 kereta berkecepatan tinggi beroperasi, bersama-sama dengan 8.540 rangkaian kereta biasa.

Beijing

Persoalan transportasi bukan hanya persoalan negara. Kota-kota besar di China pun menghadapi persoalan transportasi. Beijing, ibu kota China, juga menghadapi masalah transportasi dan lalu lintas padat. Beijing memiliki populasi mencapai 17 juta jiwa. Pemerintah Kota Beijing membuat sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan transportasi dan lalu lintas agar kota itu tetap nyaman untuk dihuni.

Misalnya, Pemerintah Kota hanya mengizinkan mobil yang teregistrasi sebagai mobil Beijing yang boleh masuk ke Beijing. Selain itu, pemerintah juga mengatur izin lalu lalang mobil berdasarkan nomor pelat mobil secara bergantian setiap hari.

Mobil berpelat nomor akhir 1 dan 2 hanya boleh keluar pada Senin. Pelat bernomor akhir 3 dan 4 hanya boleh beredar pada Selasa. Nomor 5 dan 6 hari Rabu. Nomor 7 dan 8 pada Kamis. Nomor 9 dan 0 hanya boleh melintas pada Jumat. Untuk Sabtu dan Minggu, semua mobil pribadi diperbolehkan melintas di dalam kota. Jika ada pengendara mobil yang melanggar, dikenai denda 100 yuan atau sekitar Rp 130.000.

Peraturan ini pertama kali diterapkan pada Agustus 2008, saat pesta olimpiade berlangsung. Hingga kini peraturan tetap berlaku karena terbukti telah mengurangi kepadatan dan polusi kota yang sudah sangat tinggi.

Pemerintah juga memperpanjang dan memperlebar jalan-jalan yang ada di Beijing. Bahkan, kini Beijing memiliki enam jalan lingkar yang jaraknya 130 kilometer dari Tiananmen, pusat kota Beijing. Tidak cukup hanya itu, tarif parkir pun dinaikkan agar orang tidak lagi mau naik mobil pribadi. Kini, tarif parkir ditetapkan 20-50 yuan (Rp 26.000-Rp 65.000) per jam, tergantung dari lokasi.

Walaupun menerapkan banyak peraturan, kemacetan tetap terjadi. Hal itu terjadi karena banyak sekali orang yang mempunyai mobil pribadi. Seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi rakyat China, kebutuhan orang akan hidup mewah pun bertambah.

Kewalahan dengan jumlah mobil yang terus bertambah, mulai tahun 2011, Pemerintah Kota Beijing membatasi pembelian mobil baru. Sebelum bisa membeli mobil, seorang calon pembeli harus mengikuti undian untuk mendapat nomor mobil. Jadi, walaupun memiliki uang, ia belum tentu bisa membeli mobil jika namanya tidak keluar dalam undian tersebut. Melalui kebijakan undian, Pemerintah Kota hanya mengizinkan penjualan 400.000 mobil baru. Padahal, tahun lalu jumlah mobil yang terjual 850.000 unit.

Dari kuota 400.000 unit itu, sebanyak 240.000 unit dijual bagi pemilik baru, sedangkan 160.000 unit bagi pemilik mobil yang mobilnya rusak atau dijual. Mereka diperbolehkan tetap memegang nomor mobil mereka dan membeli mobil baru.

Sebelum membatasi jumlah mobil, Pemerintah Kota Beijing juga melarang penggunaan motor di dalam kota. Pemerintah tetap memperbolehkan sepeda berlalu-lalang, termasuk sepeda listrik. Namun, kini jumlah sepeda juga makin lama makin berkurang karena mereka beralih naik mobil.

”Dulu di sini banyak sekali sepeda. Pemandangannya seperti motor-motor di Jakarta saat ini, yang jumlahnya makin lama makin banyak,” kata Riyono, warga Indonesia yang bekerja di Beijing selama 15 tahun.

Adanya kebijakan-kebijakan yang membatasi kepemilikan kendaraan bermotor, Pemerintah Kota Beijing menyadari, warganya harus memiliki angkutan umum yang layak, cepat, murah, dan mencapai seluruh sudut kota. Jika ada angkutan umum yang nyaman, orang bersedia pindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum.

Pilihan pun jatuh dengan memperbanyak jumlah bus dan memperpanjang jalur kereta bawah tanah (metro). Selain itu, ongkos angkutan umum juga dibuat sangat murah, hanya 1 yuan atau sekitar Rp 1.360 per trayek. Namun, jika penumpang memakai kartu langganan, ongkosnya hanya 0,4 yuan atau sekitar Rp 500. Untuk metro, ongkosnya hanya 2 yuan untuk semua trayek. Jadi, ke mana pun tujuannya, selama masih di dalam area metro, tidak perlu membayar lagi jika berganti jalur metro.

Beijing memiliki metro sejak tahun 1970 dan kini memiliki 15 jalur metro. Untuk jalur-jalur padat dan selama jam-jam sibuk, jumlah metro diperbanyak. Waktu tunggu penumpang di peron tidak sampai satu menit. Namun, walaupun banyak metro beroperasi, penumpang tetap padat di dalam metro. Hal itu terjadi karena jumlah penumpang yang naik kendaraan umum luar biasa banyak.

Setelah menerapkan berbagai kebijakan demikian, kondisi lalu lintas di Beijing kini menunjukkan perbaikan. Januari lalu, dengan memakai sistem penghitungan yang dibuat Pemerintah Kota Beijing, indeks kepadatan lalu lintas Beijing menunjukkan angka 6 hingga 6,62 pada jam-jam sibuk. Angka ini menunjukkan kepadatan lalu lintas di Beijing berada pada level moderat.

Tahun lalu, indeks kepadatan mencapai 8,32 dan puncaknya mencapai 9,68. Sistem itu membagi kepadatan di Beijing dalam tiga level, yakni parah (8-10), moderat (6-8), dan lancar (4-6). Jika indeks menunjukkan angka di bawah 4, berarti kendaraan bisa melaju dengan bebas.

Apa yang dikerjakan Beijing diikuti Guangzhou, kota nomor tiga terpadat di China, dengan populasi 14 juta jiwa. Namun, kondisi kota tidak tertata baik seperti Beijing. Guangzhou mempunyai masalah lalu lintas lebih parah. Apalagi luas kota Guangzhou tidak seluas kota Beijing sehingga untuk pengaturan lalu lintas tidak terlalu mudah.

Pemerintah Kota Guangzhou sejak tahun 2007 menghapus motor pribadi dalam ragam kendaraan yang ada di kota itu. Satu-satunya motor pribadi yang boleh beroperasi adalah motor beroda tiga yang dikendarai orang cacat. Motor roda tiga itu menjadi ojek untuk mata pencarian orang cacat tersebut.

Untuk mengatasi keterbatasan ruang, pemerintah pun membangun jalan susun hingga susun tiga. Jalan itu melintas di atas sungai dan meliuk di antara gedung-gedung tinggi apartemen warga.

Pemerintah Kota Guangzhou menyadari, pembangunan jalan seperti itu tidak memecahkan masalah kemacetan, tetapi malah menambah masalah polusi, baik udara maupun suara. Pembangunan jalan hanya membuat pertumbuhan kendaraan semakin tinggi.

Kini, Guangzhou memfokuskan penataan lalu lintas dengan membuat sistem kereta bawah tanah dan bus rapid transit (BRT). BRT Guangzhou sebenarnya mirip bus khusus transjakarta yang ada di Jakarta, tetapi dengan bentuk yang berbeda. BRT Guangzhou adalah satu koridor sepanjang 22,9 kilometer, yang melintang dari timur ke barat kota Guangzhou. Koridor itu memiliki 26 stasiun (halte yang sangat panjang) dan 31 rute bus. Bus yang beroperasi sebanyak 920 unit dan mengangkut 800.000 penumpang setiap hari.

Koridor BRT Guangzhou berbeda dengan koridor bus transjakarta. Koridor BRT Guangzhou berfungsi sebagai tempat transit bagi ke-31 rute yang ada. Rute-rute itu rata-rata menghubungkan tempat-tempat yang ada di sisi utara dan selatan koridor tersebut. Jadi, bus-bus BRT tidak hanya melintas di koridor yang bebas kendaraan umum, tetapi juga bercampur dengan kendaraan umum ketika dia keluar dari koridor untuk menuju rutenya.

”Biayanya sudah tercakup di BRT, yakni jauh dekat 2 yuan,” kata Karl Fjellstrom dari Institute for Transportation and Development Policy, lembaga yang membantu Pemerintah Kota Guangzhou memperbaiki sistem transportasinya.

Pemerintah pusat dan pemerintah kota di China memandang serius masalah transportasi. Mereka percaya, jika tidak mampu memecahkan masalah transportasi, potensi di bidang lain pun akan ikut melemah. (ARN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com