Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumber Daya yang Jauh dari Memakmurkan

Kompas.com - 10/03/2011, 05:19 WIB

Pertengahan Januari lalu, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menahan kapal pengangkut konsentrat tembaga dan emas dari tambang PT Newmont Nusa Tenggara, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pemda beralasan kadar konsentrat harus dicek dulu untuk memastikan besarnya penerimaan daerah.

Tindakan Pemkab Sumbawa Barat adalah ekspresi ketidakpuasan dalam pengelolaan sumber daya alam. Bukan rahasia lagi, pengawasan produksi maupun pengiriman hasil tambang sulit dilakukan.

Pemerintah beralasan kekurangan tenaga petugas yang bisa ditempatkan di lokasi tambang di pelosok daerah. Belum lagi banyak perusahaan tambang yang diam-diam mengapalkan barang tambang melalui pelabuhan-pelabuhan tak resmi.

Di Jambi, masih di pertengahan Januari, aparat kepolisian menembaki puluhan petani sawit yang sedang memanen buah sawit di kebun mereka. Insiden penembakan itu merupakan buntut konflik antara para petani program plasma di Kabupaten Sarolangun dengan perusahaan perkebunan sawit.

Dua kejadian itu menjadi potret buruknya pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Kebijakan yang mengeksploitasi sumber daya alam, semata dalam wujud bahan mentah dan bahan baku, semakin meluas dengan desentralisasi. Desentralisasi menggeser sebagian kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kewenangan ekonomi.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah mencatat sejak pelaksanaan otonomi, aktivitas ekonomi terkonsentrasi pada daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam.

Besarnya uang yang masuk ke daerah mengakibatkan pencarian rente ekonomi, termasuk yang berbasis sumber daya alam semakin besar.

Sawit Watch mencatat konflik agraria yang terjadi di kawasan perkebunan kelapa sawit—berikut kriminalisasi warga yang menolak perkebunan kelapa sawit—pada 2010 meningkat dua kali lipat dibandingkan 2009.

Jumlah konflik diperkirakan akan semakin bertambah pada 2011 karena pembukaan hutan yang besar-besaran dan tumpang tindih izin lokasi dengan hutan ulayat masyarakat (Kompas, 5/1).

Komoditas pertambangan dan perkebunan menyumbang nilai ekspor terbesar dari total kita. Indonesia memproduksi 20,9 juta ton minyak sawit mentah (CPO) tahun 2009. Dari jumlah tersebut sekitar 16 juta ton diekspor, sebagian besar masih dalam bentuk bahan mentah.

Indonesia dan Malaysia kini memasok 86 persen CPO dunia. Namun, Indonesia sekadar menjadi pengekspor bahan baku karena industri pengolahan turunan CPO tidak juga berkembang. Para pengusaha perkebunan sawit di Indonesia justru membangun pabrik pengolahan di luar negeri.

Kondisi yang tak jauh beda terjadi di pertambangan. Nilai ekspor hasil tambang tahun 2009 mencapai 39,2 miliar dollar AS. Dengan mengekspor batu bara, nikel, dan bauksit, kita menjadi penopang pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan, maupun raksasa ekonomi baru, China.

Mengacu pada data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), nilai penjualan pertambangan umum pada tahun 2009 mencapai Rp 234 triliun. Namun, yang masuk ke penerimaan negara hanya Rp 51 triliun.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia memperkirakan produksi riil batu bara nasional, jika mengikutsertakan pertambangan ilegal yang tidak tercatat pemerintah, mencapai 300 juta ton.

Meskipun peraturan presiden tentang transparansi industri ekstraktif telah diterbitkan tahun 2010, Indonesia merupakan negara yang belum transparan dalam pelaporan produksi industri ekstraktif, terutama pertambangan mineral dan migas.

Dengan ketimpangan nilai tambah yang seharusnya bisa diperoleh negara, sektor pertambangan menjadi salah satu fokus penanganan kasus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2010. Sebagai ilustrasi, di Kalimantan Timur ada 1.200 izin usaha pertambangan yang dikeluarkan bupati dan wali kota.

Marak dan mudahnya bupati mengeluarkan izin kuasa pertambangan diduga kuat lantaran mereka menikmati imbalan dari para pengusaha tambang.

Semangat otonomi daerah yang membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut mengelola sumber daya alam di dekat mereka secara langsung, melenceng menjadi eksploitasi berlebihan. Peningkatan eksploitasi pertambangan secara besar-besaran, bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru membuat kesenjangan semakin besar dan meninggalkan ancaman kerusakan lingkungan.

Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, dari 47 perusahaan yang mendapat rapor hitam tahun lalu, sebagian besar adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, termasuk pertambangan.

Pengolahan minim

Yang lebih ironis, kecenderungan menjual bahan mentah dan bahan baku itu menempatkan Indonesia dalam posisi pengimpor. Neraca perdagangan bahan mentah dan bahan setengah jadi hasil pertambangan mengindikasikan rendahnya tingkat pengolahan hasil tambang.

Hasil tambang diekspor dalam bentuk mentah, padahal kita kemudian mengimpor bahan setengah jadi seperti bijih besi yang nilainya lebih tinggi.

Indonesia Research and Strategic Analysis mencatat meskipun memiliki sumber bijih besi, Indonesia tidak punya industri pengolahan bijih besi.

Sejak tahun 2006, volume ekspor bijih besi lebih besar daripada impor. Namun, hingga kini neraca perdagangan bijih besi tetap defisit. Harga ekspor bijih besi jauh lebih murah daripada harga ekspor. Industri pengolahan bauksit menjadi alumina baru direncanakan.

Aluminium Smelter (PT Inalum) dan produksi aluminium ingots di Indonesia menggunakan bahan baku alumina dan scrap aluminium impor. Padahal, produksi bauksit Indonesia dapat diolah menjadi 4-7 juta ton alumina, jauh lebih tinggi daripada kebutuhan dalam negeri.

Ekonom senior Didik J Rachbini mengatakan, ketiadaan kebijakan industrialisasi mengakibatkan industri kita berjalan tanpa arah, termasuk industri yang terkait dengan pengolahan sumber daya alam.

Pemanfaatan sumber daya pertambangan semestinya dapat mendorong pertumbuhan, termasuk sektor-sektor di luar pertambangan dengan adanya peningkatan nilai tambah hasil tambang dan keterkaitan industri.

Penerimaan hasil pertambangan yang didistribusikan secara merata bagi generasi sekarang dan yang akan datang akan menjadi modal utama bagi Indonesia untuk mengembangkan ekonomi yang lebih berbasis pada teknologi dan pengetahuan.

Dengan cara ini pula, kapasitas perekonomian dalam jangka panjang bisa tercapai sehingga generasi berikutnya bukan lagi sekadar generasi penjual bahan mentah yang mengorbankan masa depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com