Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mayoritas Lahan Sumsel Bukan buat Rakyat

Kompas.com - 11/03/2011, 00:52 WIB

PALEMBANG, KOMPAS.com — Tata guna lahan di Sumatera Selatan dinilai semakin tak seimbang. Semakin banyak lahan digunakan untuk pertambangan serta perkebunan sehingga mengurangi alokasi lahan untuk masyarakat. Akibatnya, potensi konflik lahan di masa depan dikhawatirkan kian besar.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, dari total lahan Sumatera Selatan sekitar 8,7 juta hektar, hanya sekitar 2 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat.

Mayoritas lahan tersebut digunakan untuk perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) dengan luas mencapai sekitar 4 juta hektar.

Sebanyak 2,4 juta hektar lahan lainnya digunakan untuk pertambangan batu bara. Pada akhir 2009, tercatat sebanyak 229 kuasa pertambangan yang beroperasi di 10 kabupaten.

Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan, saat ini pertambangan batu bara telah meluas ke kantong pertanian. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), misalnya, terdapat delapan KP batu bara. Satu dari delapan KP itu baru saja beroperasi tahun ini, sedangkan tujuh lainnya masih dalam tahap persiapan.

Adanya tambang batu bara di daerah pertanian dikhawatirkan akan menyebabkan pencemaran lingkungan yang berdampak pada turunnya produksi pertanian. "Lahan yang berdekatan dengan tambang batu bara biasanya akan tercemar dan sulit ditanami lagi," kata Hadi di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (10/3/2011).

Menurut Hadi, terus bertambahnya lahan yang digunakan untuk pertambangan dan perkebunan ini memperkecil akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya lahan pertanian.

"Saat ini, petani padi di Sumsel rata-rata memiliki satu hektar sawah dan banyak lainnya yang hanya menjadi buruh tani. Idealnya, setiap petani memiliki empat hektar sawah, baru bisa sejahtera hidupnya," katanya.

Selain mengurangi sumber ekonomi masyarakat, ucap Hadi, minimnya porsi lahan untuk masyarakat ini juga mengakibatkan konflik per buatan ruang. Tanpa adanya penanganan, konflik-konflik ruang tersebut dikhawatirkan akan semakin tajam.

Selama ini, konflik-konflik lahan antara petani dan pihak perkebunan, pengelola HTI, ataupun tambang telah berulang kali terjadi di Sumatera Selatan. Konflik lahan ini biasanya disebabkan penggusuran lahan garapan masyarakat oleh perusahaan pengelola lahan.

Beberapa konflik lahan terakhir terjadi di Kabupaten Muaraenim, Banyuasin, dan OKUT. Pada pertengahan Februari lalu, misalnya, perwakilan warga tiga desa di Kecamatan Martapura, OKUT, mengadukan penggusuran lahan garapan dan rumah mereka kepada Lembaga Bantuan Hukum Palembang. Lahan di kawasan hutan negara register 13 itu akan digunakan oleh perusahaan yang memiliki izin mengelola.

Ketua III Forum Komunikasi Warga Muhroji (47) mengatakan, penggusuran yang terjadi pada 27 Januari itu menghancurkan tujuh rumah dan sekitar 650 hektar kebun karet garapan warga. Kami keberatan karena penggusuran itu dilakukan tanpa peringatan dan ganti rugi.

"Padahal, kebun karet yang digusur sebenarnya sedang produktif dan satu-satunya sumber nafkah kami," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com