Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Industri Tekstil

Kompas.com - 27/04/2011, 11:03 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com — Banjir tahunan Sungai Citarum di Cekungan Bandung menimbulkan dilema bagi sekitar 600 industri tekstil dan produk tekstil yang berlokasi di sepanjang daerah aliran sungai itu. Kendati dituduh sebagai salah satu penyumbang pencemaran Citarum, ada keterikatan ekonomi kuat antara industri dan masyarakat selama puluhan tahun.

Ini sebabnya wacana relokasi tak mudah diwujudkan. Padahal, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang menjadi penopang roda ekonomi di Majalaya, Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot hingga Rancaekek Kabupaten Bandung itu diperkirakan merugi hingga Rp 60 miliar per tahun tiap banjir melanda. Selain itu, infrastruktur jalan yang rusak dan semakin terhimpit permukiman penduduk memicu biaya ekonomi tinggi.

Bahkan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Wijaya mengatakan, saat banjir Citarum melanda selama sebulan penuh, Maret 2010 silam, kerugian semua jenis industri di Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang mencapai Rp 200 miliar. Kerugian dialami lebih dari 200 perusahaan. Selain TPT, pabrik-pabrik yang berhenti operasi bergerak dalam bidang otomotif, elektronik, dan tekstil.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan, bencana banjir di wilayah Bandung selatan semakin parah terjadi sejak awal 2000. Selain berhenti beroperasi, industri TPT juga harus menanggung upah buruh yang libur selama banjir, kerusakan bahan baku dan mesin, serta denda dari importir akibat keterlambatan pengiriman.

“Untuk mengejar tenggat waktu pengiriman, pengusaha terpaksa mengirimkan barang melalui pesawat yang harganya enam kali lebih mahal dibandingkan lewat jalur laut,” ujar Ade yang juga mantan Ketua API Jabar tersebut, akhir Maret lalu.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bandung Jimmy Kartiwa tak menyanggah, saat banjir besar tahun 2010, ada beberapa pabrik tutup akibat keuangannya goyah karena tidak beroperasi selama banjir. Dalam kondisi persaingan dengan China paskaperdagangan bebas, banjir membawa dampak yang lebih besar. Sebab, menurut Jimmy, jika industri TPT lokal tak mampu memenuhi pesanan karena terhambat banjir, pembeli luar negeri akan beralih ke produk China yang harganya lebih murah.

Daerah Bandung selatan mulai menjadi sentra TPT sejak sekitar 1970. Wilayah tersebut menjadi penyumbang utama ekspor tekstil nasional. Dari data API, ekspor tekstil nasional tahun 2010 mencapai 11,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 100,8 triliun. Sementara pangsa pasar lokalnya mencapai Rp 4,5 triliun.

Sekitar 60 persen dari omzet sebesar Rp 105,3 triliun tersebut, atau Rp 60 triliun disumbang Jabar. Dari angka itu, Rp 40 triliun di antaranya merupakan nilai penjualan produk TPT di wilayah Bandung dan sekitarnya.

Sumbang Pencemaran

Kendati demikian, dari sisi lingkungan, kehadiran industri TPT kerap dituding sebagai penyumbang pencemaran DAS Citarum. Mereka diduga tidak mengoperasikan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang baik, bahkan sebagian besar membuang limbahnya secara langsung ke sungai Citarum tanpa diproses terlebih dulu.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung pernah melansir, kondisi baku mutu air Citarum di sekitar areal pabrik tekstil sudah sangat buruk. Setiap hari, sekitar 1.320 liter per detik atau setara dengan 270 ton per hari limbah dibuang dari industri-industri di sepanjang DAS Citarum di kawasan Kabupaten Bandung.

Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 39 Tahun 2002, limbah hasil industri harus melalui pengolahan agar sesuai dengan baku mutu yang aman bagi lingkungan.

Realita ini tidak ditampik oleh pihak pengusaha. Ade mengakui, dari sekitar 600 industri TPT di DAS Citarum, hanya 10 persen di antaranya saja yang sudah mengoperasikan IPAL sesuai standar.

Kebanyakan yang menyumbang limbah adalah industri subsektor pencelupan (dyeing) yang jumlahnya sekitar 35 persen dari seluruh usaha TPT di kawasan itu. Selain pencelupan, subsektor TPT lain yakni spinning (pintal), weaving (tenun), knitting (perajutan), pengecapan dan garmen.

“Sebenarnya bisa saja dibuat IPAL terpadu yang biayanya mencapai Rp 100 miiar dan bisa diakses 30 industri. Namun, jika tidak dibantu pemerintah, tetap saja pengusaha akan berhitung untung ruginya,” terangnya.

Wacana Relokasi

Saat ini, untuk bertahan di tengah bencana banjir, pihak API secara swadaya telah membuat kirmir hijau dari akar wangi sepanjang 18 kilometer di wilayah Majalaya. Rencananya, pembuatan kirmir akan dilanjutkan sepanjang 15 km lagi ke arah Baleendah.

Kendati belum maksimal, hal ini menurut Sekretaris API Jabar Kevin Hartanto, dapat menekan banjir di Majalaya. Jika lima tahun lalu, banjir di Majalaya setinggi 1,5 meter, sekarang tinggal 20-30 sentimeter.

Akibat terus menerus didera bencana banjir, investasi TPT sekitar Rp 80 triliun di Cekungan Bandung terancam. Ini memunculkan wacana relokasi besar-besaran industri TPT. Dari sekian banyak daerah yang ditawarkan, Kabupaten Majalengka menjadi alternatif utama. Ini sejalan dengan rencana tata ruang Pemprov Jabar yang berencana menjadikan Majalengka sebagai kluster industri.

“Lebih baik relokasi gradual. Awalnya, yang dipindah adalah industri pencelupan tekstil terlebih dulu. Lagipula, industri jenis ini tidak banyak menyerap tenaga kerja. Pada saatnya, ketika sumber daya pendukungnya sudah memenuhi, sebagian industri TPT yang memadati Cekungan Bandung ini pasti setuju untuk pindah ke sana,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com