Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Belum Bersikap soal Subsidi BBM

Kompas.com - 06/07/2011, 18:20 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku mengikuti silang pendapat mengenai wacana kenaikan bahan bakar minyak di tingkat publik. Presiden mengatakan, adu pendapat antara kelompok yang pro dan kontra semakin berkualitas dan rasional. Namun, Kepala Negara mengatakan belum mengambil sikap.

"Saya hargai itu. Saya akan mengambil keputusan setelah melihat berbagai aspek secara keseluruhan," kata Presiden ketika membuka rapat koordinasi khusus tentang perkembangan implementasai Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (6/7/2011).

Pemerintah mengalami dilema dalam menetapkan kebijakan BBM saat ini. Tanpa pengendalian konsumsi BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM, anggaran subsidi BBM pada akhir tahun 2011 diperkirakan akan melonjak dari target awal Rp 95,9 triliun menjadi Rp 120,8 triliun.

"Kami belum memperhitungkan kemungkinan adanya kenaikan harga BBM," ujar Menteri Keuangan Agus Darmawan Wintarto Martowardojo di Jakarta, Senin (4/7), dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR.

Ketua Badan Anggaran DPR Melchias Markus Mekeng mengingatkan semua anggota Badan Anggaran tentang pentingnya keputusan mereka terkait BBM ini. Jika laporan Menteri Keuangan tersebut diterima secara langsung, itu artinya DPR mengizinkan total tambahan anggaran subsidi hingga membengkak menjadi Rp 244,5 triliun.

"Ini sudah krusial. Jika dibandingkan dengan anggaran belanja modal yang meningkat dari Rp 95 triliun (tahun 2010) menjadi Rp 137 triliun (tahun 2011), subsidi Rp 244,5 triliun sudah melampaui belanja modal. Sekarang pilihannya adalah apakah kita akan membiarkan uang itu terbakar terus untuk subsidi dan menekan pembangunan atau menaikkan harga BBM?" tutur Mekeng.

Sementara itu, pemerhati transportasi, Rudy Thehamihardja, mengatakan, selama bertahun-tahun terjadi pembohongan terkait subsidi bahan bakar minyak (BBM). Karena faktanya, walaupun sudah puluhan triliun dana negara dikucurkan, tetap tak terjadi penurunan angka kemiskinan yang drastis.

"Katanya subsidi BBM bagi rakyat miskin. Nah, mengapa tetap ada rakyat miskin? Jangan-jangan, subsidi itu tidak tepat sasaran," kata Rudy, Rabu (6/7/2011).

Dia menegaskan, lebih baik subsidinya diberikan kepada angkutan umum daripada BBM. Dicontohkan, dengan mekanisme tertentu, jauh lebih baik jika pemerintah membebaskan biaya angkut hasil pertanian dari desa ke kota. Namun, sebaliknya, tetap memberlakukan tarif normal untuk angkutan dari kota ke desa. Atau, pemerintah memberikan subsidi langsung ataupun insentif fiskal bagi pengusaha transportasi. Jadi, nantinya, subsidi diteruskan bagi masyarakat yang menggunakan transportasi umum, bukan kepada masyarakat yang naik kendaraan pribadi yang seharusnya mampu itu. Dengan proyeksi dana subsidi BBM mencapai Rp 120 triliun pada akhir tahun, Rudy menegaskan, hal itu adalah sebuah kesia-siaan.

"Pemerintah pernah mengatakan, hanya dibutuhkan Rp 140 triliun untuk membangun kereta api di seluruh Indonesia. Nah, uang Rp 120 triliun itu besar artinya," katanya.

Direktur Institute of Transportation Studies (Instran) Darmaningtyas menegaskan, tak ada itu dilema dalam proses untuk menaikan harga BBM. "Ini soal keberpihakan saja. Apakah pemerintah berpihak penuh kepada pelayanan publik," ujarnya.

Menurut Darmaningtyas, jelas lebih baik jika dana subsidi itu dialihkan untuk tiga sektor, yakni pendidikan, kesehatan, dan transportasi. "Yang terjadi adalah, pemerintahan yang sekarang tetap ingin dikenal populis, tak mau didemo ketika harga BBM dinaikkan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com