Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Impor Teh Dicemaskan

Kompas.com - 18/11/2011, 04:26 WIB

Bandung, Kompas - Impor teh, khususnya dari Vietnam, sangat mencemaskan karena dari tahun ke tahun volumenya terus meningkat. Hal itu disebabkan turunnya bea masuk sejak diberlakukannya AFTA pada 1 Januari 2010. Padahal, Vietnam masih menerapkan bea masuk 50 persen.

Ketua Dewan Teh Indonesia (DTI) Rachmat Badrudin mengungkapkan hal itu dalam rapat anggota tahunan DTI dan Asosiasi Teh Indonesia di Bandung, Kamis (17/11). Jika tahun 1996 impor teh masih 50 ton senilai 50.000 dollar AS, tahun 2009 sudah mencapai 7.200 ton senilai 12,5 juta dollar AS. Tahun 2010, nilainya naik lagi menjadi 10.870 ton, sedangkan ekspor teh Indonesia tercatat 83.700 ton.

Harga teh Vietnam hanya 0,9 dollar AS per kilogram, sedangkan harga teh Indonesia mencapai 2 dollar AS per kilogram. Selain itu, negara-negara produsen teh masih menerapkan bea masuk impor yang tinggi. India, misalnya, sebagai produsen kedua terbesar dunia memasang tarif impor 114 persen. Turki sebagai produsen kesembilan menerapkan bea masuk 140 persen. Karena terikat Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), Indonesia sebagai negara produsen teh ketujuh memasang tarif 5 persen.

”Sebaiknya kalau tidak bisa lagi menaikkan bea masuk diterapkan pengamanan nontarif seperti SNI bagi produk impor sebab perdagangan teh Indonesia menjadi tidak adil,” ujar Kepala Bidang Penelitian Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung Indonesia Rohayati Suprihatini. Teh Indonesia, terutama teh hitam dan teh hijau, yang diekspor ke 40 negara tujuan di Eropa, Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Australia menghadapi hambatan tarif dan nontarif.

Harga teh ekspor terus naik dan akhir 2011 ini sudah mencapai 2 dollar AS per kilogram. Namun, produksi teh dalam negeri justru terus menurun akibat lahan perkebunan terus menyusut. Tahun 2003, produksi teh nasional masih 160.000 ton, tapi tahun 2010 turun menjadi 129.000 ton. Luas kebun juga terus menyusut dari 157.000 hektar (1998) menjadi 124.000 hektar pada tahun 2010.

Petani sebagai pemilik perkebunan teh rakyat yang menguasai 46 persen perkebunan nasional tak mau memelihara kebunnya secara intensif karena usaha komoditas ini dinilai tak menguntungkan. Akibatnya, produktivitas kebun rendah atau 50 persen dari normal atau ratarata 1.000 kg per hektar per tahun. Kebun teh lainnya dimiliki PTPN (38 persen) dan sisanya kebun teh swasta. Banyak petani mengalihkan kebunnya dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan seperti bawang dan cabai.

Dari Purwakarta, Jawa Barat, dilaporkan, harga pucuk daun teh dari perkebunan rakyat di daerah itu naik dari Rp 1.300 per kilogram menjadi Rp 1.800 per kilogram teh basah tiga bulan terakhir. Namun, kenaikan belum menguntungkan petani akibat panjangnya rantai distribusi.

Ketua Kelompok Tani Wargi Mukti di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Ade Sugema (49), menyebutkan, selisih harga di tingkat petani dan pabrik pengolah pertama kini mencapai Rp 700 per kilogram. Selisih itu seharusnya bisa dinikmati petani jika distribusi dipangkas.

”Petani saat ini hanya menikmati Rp 1.800 per kilogram. Padahal, harga di tingkat pabrik Rp 2.500 per kilogram. Selain rantai yang panjang, harga di petani tertekan karena ulah tengkulak,” kata Ade.

Ade menambahkan, kecenderungan naiknya harga teh dunia dan permintaan dari pabrik pengolah membuat harga pucuk daun teh di tingkat petani naik belakangan ini. Situasi itu baru terjadi tahun ini. Sejak beberapa tahun lalu, harga teh anjlok dan memaksa sebagian petani beralih ke komoditas kapulaga atau menumpang sari kebunnya dengan tanaman lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com