Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agar Tak Terus Galau

Kompas.com - 17/02/2012, 11:26 WIB

KOMPAS.com - Tiap tahun isu mengurangi subsidi bahan bakar minyak selalu mewarnai pembahasan APBN. Kontroversi kali ini terjadi karena pengurangan subsidi dilakukan dengan membatasi BBM jenis Premium untuk kendaraan bermotor roda empat pribadi di Jawa dan Bali mulai 1 April 2012, seperti isi penjelasan Pasal 7 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN.

Masyarakat didorong mengonversi penggunaan Premium ke bahan bakar gas dan bahan bakar nabati.

Pada 2005, pengurangan subsidi juga menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat karena keputusan tidak kunjung diambil selain kenaikan harganya luar biasa. Selama tahun 2003 dan 2004 harga Premium Rp 1.810 per liter, pada 1 Maret 2005 menjadi Rp 2.400, lalu pada 1 Oktober 2005 jadi 4.500, naik hampir 300 persen dari harga sebelum Maret 2005.

Harga masih naik lagi menjadi Rp 6.000 pada 24 Mei 2008. Pemerintah lalu menurunkan bertahap dan pada 29 Januari 2009 sampai kini harganya Rp 4.500.

Setelah rencana pengalihan ke BBM non-Premium ternyata tidak semudah telapak tangan, kini pemerintah pun ”menyerah”. Kemungkinan menaikkan harga Premium dibahas bersama DPR.

Opini publik dan kecenderungan pemerintah mengurangi subsidi BBM, menurut anggota pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Hendri Saparini, sekadar menyelamatkan APBN, tetapi tidak menyentuh penyelamatan ekonomi nasional.

Anggota Komisi XI dan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Ir Dolfie OFP, dari Fraksi PDI-P mengatakan kepada Kompas, Rabu (15/2), Banggar DPR menyetujui pengurangan subsidi BBM karena pemerintah menyajikan data 53 persen pemakai BBM bersubsidi adalah mobil pribadi, 40 persen kendaraan roda dua, dan 7 persen angkutan umum serta barang.

”Sebagian besar fraksi tidak membicarakan pengalihan ke Pertamax dan lebih memilih menaikkan harga Premium. Premium itu produk Pertamina, sementara menaikkan pasokan Pertamax harus melalui impor,” kata Dolfie. Fraksi PDI-P menginginkan tetap ada subsidi untuk Premium dengan menentukan batas atas.

Tingkatkan efisiensi

Anggota Komisi XI DPR dari Partai Gerindra, Sadar Subagyo, mengatakan, sebelum menghilangkan subsidi, pertama-tama pemerintah harus mengefisienkan APBN. APBN 2012 mengalokasikan 51,4 persen untuk belanja pegawai dan barang di pusat serta daerah. ”Sangat tidak efisien. Harus dikurangi, misalnya, biaya perjalanan,” kata Sadar.

Hendri menyoroti kebijakan pemerintah yang cenderung mau mudah dengan selalu lebih dulu memotong subsidi. APBN diselamatkan dengan memindahkan secepatnya beban tersebut ke masyarakat. Padahal, dalam transisi ke BBM nonsubsidi, ada yang menjadi beban pemerintah dan beban kelas menengah. Bukan semena-mena semua kendaraan pribadi dipaksa pindah ke Pertamax.

”Saya setuju pemanfaatan APBN harus lebih efektif agar menggerakkan pembangunan. Kalau begitu, batasi belanja barang baru yang tidak perlu dan membangun gedung-gedung baru. Turunkan juga kebocoran distribusi BBM dan tingkatkan produksi minyak,” tutur Hendri, Senin (13/2).

Soal produksi minyak, menurut Dolfie, yang juga harus diperhatikan adalah produksi minyak bumi yang belum optimal. Blok Cepu, misalnya, seharusnya sudah berproduksi 200.000 barrel, tetapi kini baru 2.000 barrel. Bila target terpenuhi, produksi Blok Cepu dapat meningkatkan pasokan minyak dalam negeri sehingga mengurangi impor dan subsidi.

Solusi konkret

Demi memenuhi asas keadilan dan memenuhi kewajiban pemerintah kepada rakyat, pemerintah harus mendorong pengurangan subsidi dengan memberi alternatif kepada masyarakat, misalnya, menyediakan transportasi publik yang baik. Pemerintah juga harus meningkatkan produksi BBM dengan mendiversifikasi sumber energi dengan energi baru dan terbarukan. ”Selama tujuh tahun (sejak 2005), pemerintah tidak melakukan pekerjaan rumahnya. Keributan soal pengurangan subsidi pasti akan berulang tiap tahun,” kata Hendri.

Sadar mengusulkan, agar ada dampak berganda dan konkret bagi masyarakat, pengurangan subsidi dipakai untuk membangun sistem transportasi massal Jakarta. Tetapkan subsidi BBM minimal Rp 27 triliun per tahun selama lima tahun untuk membangun subway dan monorel beserta prasarananya. Setelah itu, subsidi BBM bisa dicabut. ”Rakyat sudah punya alternatif transportasi,” kata Sadar.

Hendri mengingatkan dampak pengurangan subsidi pada menurunnya daya saing produk industri lokal karena biaya produksi naik. Akibatnya, pasar dalam negeri akan dibanjiri produk impor dan efek berikut adalah pengurangan kesempatan kerja. ”Silakan pemerintah menjelaskan kepada publik dampak pengurangan subsidi dan skenario menanggulangi dampak itu selain inflasi,” kata Hendri. (nmp)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com