Instrumen keempat, meminta bantuan pinjaman dari Bank Indonesia. Pilihan instrumen ini dimungkinkan karena cadangan devisa Indonesia terus mengalami peningkatan. Angka terakhir yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia mencapai angka 112 miliar dollar AS.
Walau besaran angka cadangan devisa ini disebutkan dapat mendanai kebutuhan impor Indonesia selama 6,4 bulan ke depan plus pembayaran utang luar negeri pemerintah, lagi-lagi pilihan untuk menggunakan instrumen ini telah ”dikunci” melalui ketentuan hukum.
Undang-Undang Nomor 23
Narasi propasar
Narasi politik apa yang tengah disampaikan oleh tertutupnya semua instrumen mobilisasi dana untuk mengatasi peningkatan harga BBM di pasar internasional itu sehingga pilihan tidak menaikkan harga BBM tidak dapat dibuat? Narasinya sangat jelas. Negara sangat lemah menghadapi gejolak pasar global. APBN telah luntur watak namanya sebagai anggaran yang menghubungkan negara dengan warganya.
APBN sebagai refleksi angka kuantitatif untuk menghubungkan cita-cita politik dari kekuatan politik domestik dengan konstituensinya juga telah berkurang maknanya. Dengan mengalihkan beban kenaikan harga BBM kepada masyarakat, wewenang penganggaran (budgeting) DPR yang diagungkan oleh semua kekuatan politik di institusi legislatif juga tidak lagi bekerja sebagai variabel politik yang independen dan otonom. Ia telah berubah menjadi variabel dependen dan ”sekutu” dari pasar global.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM hanyalah sepotong cerita kecil dari narasi politik besar negara yang lemah dan propasar itu. Dalam narasi politik besar ini pula, kata subsidi telah menjadi tersudut menjadi kata ”kotor” yang harus dijauhi.
Begitu takutnya penguasa dengan kata subsidi itu pula sehingga ia dimunculkan secara malu-malu dengan kalimat ”bantuan langsung tunai”. Pertanyaan mengusik batinnya adalah masih dapatkah suatu pemerintah disebut dengan pro-poor (berpihak kepada kelompok masyarakat miskin) ketika kata-kata subsidi harus dijauhi, disembunyikan, dan kalau bisa dihilangkan dari leksikon politik pembuatan APBN?
MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia