Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sukhoi Mencari Posisi

Kompas.com - 25/05/2012, 11:15 WIB

Oleh ORIN BASUKI

Sukhoi Superjet 100 dilahirkan untuk memperbaiki setiap kesalahan yang kerap dilakukan pilot. Demikian janji Pejabat Eksekutif Tertinggi United Aircraft Corporation, lembaga yang memproduksi Sukhoi versi komersial, Mikhail Pogosyan, dalam sebuah wawancara dengan situs Russia Today pada 20 April 2011. 

Saat itu merupakan debut komersial Sukhoi Superjet 100 di pasar pesawat berkapasitas tempat duduk 90-100 buah. Setahun kemudian, salah satu dari pesawat tersebut jatuh di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, dalam sebuah penerbangan promosi di Indonesia.

Meski jatuh, kehadiran pesawat bermesin Powerjet SaM146 dari kota Komsomolsk, Rusia, ini merupakan kejutan tersendiri. Dari lima produsen pesawat berpenumpang di bawah 100 kursi, Sukhoi Superjet 100 merupakan hasil pengembangan yang paling maju. Demikian diungkapkan Flightglobal pada Juli 2008.

Nama-nama besar yang berdiri di industri pesawat sekelasnya antara lain duo perintis Bombardier dari Kanada dan Embraer asal Brasil. Kemudian muncul tiga lainnya, yakni AVIC I Commercial Aircraft Corporation-China, Mitsubishi Heavy Industries-Jepang, dan Sukhoi sendiri.

Ini merupakan transformasi aktivitas manufaktur kedirgantaraan. Pada tahun 1980-an, model pesawat yang dikembangkan adalah yang berkapasitas di bawah 50 penumpang. Pada kelas inilah Indonesia masuk dalam 10 negara produsen dunia, setara dengan Jerman, Brasil, Australia, Perancis, Inggris, Spanyol, Belanda, Amerika, dan Israel.

Namun, kini masa depan ada di pesawat berkursi 90-100 unit, ceruk pasar yang sempat diabaikan, setelah A318 dari Airbus dan 737-600 dari Boeing gagal menjadi bintang. Pogosyan pada situs Flightglobal menyebutkan, permintaan atas pesawat berkursi 90-100 unit bisa mencapai 5.400 unit hingga tahun 2024. Sukhoi hanya sanggup memproduksi 800 unit.

Tren Indonesia

Tren penggunaan pesawat berkursi 90-100 unit juga terjadi di Indonesia. Kebutuhan itu sangat dirasakan oleh maskapai yang setia menghubungkan daerah-daerah baru berkembang, seperti Sky Aviation dan Kartika Airline. Mereka tanpa ragu masing-masing memesan 12 dan 30 unit Sukhoi Superjet (SSJ) 100, jauh sebelum kecelakaan di Gunung Salak terjadi.

”MoU (nota kesepahaman) pembelian Sukhoi sudah kami lakukan beberapa tahun lalu, dan statusnya tetap sama. Kami tidak memikirkan untuk membatalkannya,” ujar General Manager Marketing Sky Aviation Sutito Zainuddin saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/5/2012).

Apalagi, Indonesia memiliki 570 bandar udara besar dan kecil hingga akhir 2011. Tidak semua bandar udara itu bisa dihubungkan dengan pesawat besar berkapasitas di atas 100 kursi atau pesawat kecil. Atas dasar itu, kebutuhan atas pesawat berkursi 90-100 meningkat.

Sky memilih Sukhoi karena mampu lepas landas di landasan pendek, teknologi terbaru di kelasnya, dan harganya terjangkau. Sky berencana menghubungkan pulau-pulau kecil seperti Batam-Matak, Batam-Karimun, Batam-Tanjungpinang dengan Jakarta. Sekitar 70 rute yang ada sekarang bisa diperkuat dengan armada Sukhoi. Beberapa rute, seperti dari Natuna, bisa membutuhkan waktu 10-12 jam ke Jakarta, bahkan pada saat cuaca buruk malah bisa terhenti.

”Kecelakaan Sukhoi tidak membuat permintaan penerbangan menurun. Kami malah dibanjiri pesanan. Bukan hanya sewa tahunan dari perusahaan minyak, tetapi juga sewa di lokasi wisata,” tutur Sutito.

Menurut Direktur Utama PT Catur Dayaprima Dirgantara Indra S Djani, konsultan pemasaran pesawat SSJ 100 PT Trimarga Rekatama, selain Kartika Airlines, Sky Aviation, dan Queen Air; Mandala Airlines dan Batavia Air juga sudah menjajaki untuk membeli SSJ 100.

”Mandala dan Batavia menilai harga SSJ 100 memang berbeda dengan jenis pesawat yang serupa seperti Bombardier atau CRJ 190 (Kanada) dan Embraer (Brasil) yang harganya dua kali lipatnya,” ujar Indra, Selasa (15/5/2012), di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Seperti Kartika Airlines dan Sky Aviation, Queen Air juga berminat membeli SSJ 100 sebanyak enam unit.

Menurut Indra, SSJ 100 dipilih karena modern dan canggih, ekonomis dari sisi bahan bakar, serta hemat 8 persen dari sisi biaya operasional dan biaya pemeliharaan. Harga pesawatnya berkisar 32 juta-34 juta dollar AS (sekitar Rp 296 miliar-Rp 314 miliar), bergantung pada isi dan konfigurasi pesawat yang dikehendaki.

Di Indonesia ada ceruk pasar yang membutuhkan pesawat lebih ramping untuk jarak sedang, tetapi tetap menggunakan mesin jet dengan kabin yang lebih lebar dan mewah. Ini lebih dipilih daripada menggunakan pesawat besar, tetapi jumlah penumpang hanya 70-80 persennya. ”Lebih baik memilih SSJ 100, penumpang terisi semua,” ujar Indra.

Primadona lain

Namun, Sukhoi bukan satu-satunya primadona karena pilihan Garuda Airways jatuh ke Bombardier seri CRJ1000 NextGen. EVP Maintenance and Fleet Management Garuda Indonesia Batara Silaban mengatakan, dalam hal pembelian pesawat, Garuda selalu berhubungan langsung dengan manufaktur.

”Tidak sekadar masalah teknis seperti kemampuan mendarat di landasan pendek, tetapi juga kesesuaian dengan rencana bisnis Garuda,” ujarnya.

Harga per unit Bombardier CRJ1000 46 juta-47 juta dollar AS (sekitar Rp 423 miliar), yang artinya lebih mahal dari pesawat sejenis, tetapi tak menjadi soal bagi Garuda. ”Pesawat ini sudah terbukti keandalannya,” kata Batara.

Begitu juga Mandala Airlines yang lebih memilih Airbus A320. Pemegang saham Mandala Airlines, Sandiaga Salahudin Uno, menegaskan, pilihan sementara masih pesawat berpenumpang 180 orang dengan alasan kebutuhan jangka pendek. Namun, di masa depan, Mandala perlu memikirkan ekspansi ke daerah dengan pesawat berkapasitas 90-100 kursi.

”Lima produsen pesawat berkapasitas 90-100 kursi itu sudah menghasilkan produk yang bagus. Pilihan akan sama untuk kelas ini,” ujarnya.

Hanya pasar

Pengamat penerbangan Chappy Hakim mengatakan, pesawat yang cocok untuk Indonesia sebenarnya yang berbaling-baling sejenis CN-235. ”Untuk rute tertentu sebenarnya tak selalu dibutuhkan jet karena lebih irit dengan propeller. Akan tetapi, karena kepentingan nasional rendah, akhirnya Indonesia menjadi rebutan Airbus dan Boeing,” ujarnya.

”Indonesia hanya pasar. Kita malah memesan pesawat ke luar negeri, memberi lapangan pekerjaan bagi ribuan pekerja Boeing. Padahal, pekerja-pekerja kita di Bandung (PT Dirgantara Indonesia) tidak mendapat kerja,” kata Chappy.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (INACA) Tengku Burhanuddin menegaskan, Indonesia akan terus menjadi pasar besar untuk maskapai penerbangan. Rata-rata orang naik pesawat sebanyak lima kali dalam setahun. Jika jumlah penerbangan mencapai 60 juta, baru 15 juta orang dari 230 juta penduduk Indonesia yang menikmati penerbangan.

”Kalau pertumbuhan ekonomi mencapai 6-7 persen, jumlah orang yang naik pesawat rata-rata tumbuh 15-20 persen per tahun. Itu artinya lebih banyak lagi pesawat yang dibutuhkan,” tuturnya.

Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo berpendapat, tidak ada keberpihakan politik untuk membangun penerbangan. ”ATR yang kini diterbangkan Wings Air, menurut saya, hampir setara N-250,” kata Dudi.

Dia mengatakan, andai program-program kedirgantaraan dilanjutkan, Indonesia diyakini akan lebih banyak berbicara dan tidak sekadar menjadi pasar. ”Tetapi, apakah ada kemauan,” ujar Dudi. (RYO/HAR)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com