Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berpacu Memburu Waktu

Kompas.com - 01/06/2012, 03:22 WIB

 Oleh ORIN BASUKI

Alih-alih bisa mengendalikan ekspor mineral, pemerintah seperti terperanjat oleh dampak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasalnya, dalam dua tahun terakhir justru terjadi lonjakan fantastis ekspor mineral logam 219 persen hingga 400 persen. 

”Kami melihat ada usaha mengeksploitasi deposit tambang untuk antisipasi larangan ekspor tahun 2014 yang diberlakukan melalui Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009. Penambang menginterpretasikan, larangan ekspor dipercepat pada Mei 2012 sehingga mereka jorjoran (habis-habisan) mengekspor pada tahun 2011,” ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Dedi Saleh, di Jakarta, Kamis (24/5).

Dengan lonjakan ekspor sekuat itu, mineral yang hanya bisa diproduksi selama jutaan tahun akan punah dari bumi Indonesia. ”Secara matematis, kenaikan ekspor pada tahun 2006 hingga 2008 masih mengikuti deret hitung, tetapi pada 2009 hingga ke 2011 mengikuti deret ukur. Ini sangat membahayakan. Mineral bisa habis seketika,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro, Kamis (24/5), di Jakarta.

UU Nomor 4 Tahun 2009 mengamanatkan, mulai Januari 2014 tidak ada lagi ekspor tambang mineral dalam bentuk mentah. Oleh karena itu, penambang diwajibkan membangun fasilitas pemurnian atau smelter sebelum 2014. Ini dibaca oleh perusahaan tambang bahwa ekspor bisa dilakukan hingga detik akhir tahun 2013. Setelah itu, terserah nanti, membangun smelter atau menghentikan penambangan.

Itulah yang mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Sejak itu, giliran penambang yang terkaget-kaget. Mereka tidak hanya harus membangun smelter sebelum 2014, tetapi juga harus menyerahkan rencana pembangunan fasilitas pemurnian paling lambat 6 Mei 2012.

Belakangan, pemerintah tidak hanya mewajibkan penambang membuat peta jalan smelter, tetapi juga menambah empat syarat lain bagi pengusaha agar bisa mengekspor barang mineral. Pertama, setiap pengusaha harus merupakan eksportir terdaftar di Kementerian Perdagangan. Syarat untuk menjadi eksportir terdaftar adalah harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM.

Kedua, untuk mendapatkan rekomendasi Kementerian ESDM itu, pengusaha tambang harus lolos tes clean and clear, yakni membuktikan lahan tambangnya tidak tumpang tindih dengan izin usaha pertambangan (IUP) lain atau dengan kawasan konservasi alam. Mereka juga wajib menandatangani pakta integritas tentang janji untuk tidak merusak lingkungan.

Ketiga, mereka pun harus menyerahkan rencana riil tentang pengelolaan tambang ke depan, termasuk memaparkan rencana pembangunan smelter sebelum 2014.

Keempat, pengusaha hanya bisa mengekspor setelah melunasi kewajiban kepada pemerintah, baik royalti maupun bea keluar. Selain itu, mereka juga harus mengantongi izin dari Kementerian Perdagangan setiap kali akan ekspor.

Lapisan peraturan ini kelihatannya berhasil meredam nafsu ekspor barang mineral. Buktinya, hingga 24 Mei 2012, Kementerian Perdagangan baru mengeluarkan lima surat keputusan tentang eksportir terdaftar. Padahal, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada Juli 2011 pernah menyebutkan ada 8.000 penambang dan pemilik IUP, sebanyak 6.000 di antaranya tumpang tindih.

”Barang tambang kita itu tidak banyak. Masa dibiarkan dikuras habis begitu saja. Batubara yang masih menumpuk di Indonesia tidak sampai 5 persen dari cadangan dunia, apalagi barang tambang mineral,” ujar Hatta di Jakarta, 4 Mei lalu.

Disedot China

Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) dalam laporan tahun 2010 menyebutkan kecenderungan China mengimpor barang tambang dari Indonesia dan menyimpan cadangan mineralnya dengan menekan ekspor. Dalam situs USGS disebutkan, pada tahun 2010, China mengimpor bauksit hanya dari Indonesia dan Australia. Sumbangan Indonesia mencapai 76,6 persen dari keseluruhan impor tersebut.

China juga mengimpor nikel mentah dari Indonesia dan Filipina, yakni 25 juta ton pada tahun 2010 dan 16,4 juta ton tahun 2009. Impor dari kedua negara ini setara 90 persen dari total impor nikel China.

Statistik memperlihatkan, dari total nilai ekspor Indonesia tahun 2010, yakni sebesar 157,7 miliar dollar AS; sebanyak 16,9 persen di antaranya ekspor barang tambang mineral. Sasarannya adalah China, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan AS.

Aturan ekspor yang diterapkan pemerintah kini membuat pengusaha tiarap. Pada 8 Mei 2012 di Jakarta, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengungkapkan, sebagian besar perusahaan tambang utama Indonesia, terutama nikel di Sulawesi dan Bauksit di Kepulauan Riau, telah menghentikan operasi pertambangannya. Alasannya, mereka tidak bisa lagi mengekspor hasil tambang sehingga hilanglah sumber penghasilan mereka.

”Pembiaran pada masalah ini hanya akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran di daerah tambang,” ujar Ketua Umum Apemindo Poltak Sitanggang, di Jakarta.

Pengusaha pemilik IUP di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Budiman Damanik, menyebutkan, biaya operasional tambang setiap bulan mencapai Rp 7 miliar. Penertiban ekspor mengejutkannya karena selama ini dia tidak pernah alpa melunasi kewajiban keuangan kepada negara, antara lain membayar royalti, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26, dan PPh Karyawan Pasal 21. ”Dengan biaya operasional yang tinggi itu, terpaksa kami menghentikan operasi tambang karena tidak adanya penghasilan dari ekspor,” ujar Budiman di Tanjung Pinang, pada pekan kedua Mei.

Regulasi pemerintah soal mineral ini juga meresahkan Mursih (38) dan Tony Madaroni (40), Ketua Rukun Tetangga 02 dan 03, Kelurahan Air Raja, Tanjung Pinang. Mereka khawatir akan terhentinya bantuan dana jaminan pemberdayaan masyarakat senilai Rp 300.000 dan Rp 400.000 per keluarga dari pengusaha tambang. Mereka juga takut kekurangan beras karena perusahaan tambang akan menghentikan pembagian beras 25 kilogram per bulan per keluarga.

”Bantuan itu sudah jalan tujuh bulan. Ibaratnya, warga sedang menata ekonominya. Ada yang kredit kendaraan, ada yang berjualan gorengan, ada yang menabung. Kalau tambang terhenti, semua itu akan buyar,” ungkap Tony saat ditemui di Senggarang, Air Raja, Tanjung Pinang, pekan kedua Mei.

Belum dikaji

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Irwandy Arif mengingatkan, kekisruhan pada pertambangan mineral seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah segera menerbitkan aturan teknis undang-undang mineral dan batubara. Undang-undang itu disahkan pada tahun 2009, sedangkan aturan teknisnya baru muncul tahun 2012. Akibatnya, pengusaha tambang memanfaatkan kesempatan dengan mengekspor sebanyak mungkin sebelum dilarang pada tahun 2014.

Atas dasar itu, perbaikan atas kebijakan penertiban ekspor mineral masih terbuka karena Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) belum selesai meneliti dampaknya. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto di Jakarta, Rabu (23/5), mengatakan, pihaknya mendukung gagasan peningkatan nilai tambah hasil tambang mineral, tetapi pihaknya belum mengkaji dampaknya secara mendalam. Presiden pun belum tahu dampaknya.

(HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com